Esok paginya, Nadia benar-benar membawa Mikey ke puskesmas yang letaknya di depan kompleks rumah susun mereka. Mikey yang memang sudah dari awal tidak menyukai semua yang berbau obat atau rumah sakit tentu dengan segala macam drama mencoba menggagalkan rencana Nadia. Mulai dari bangun terlambat, akting sakit perut bahkan beralasan kalau nyeri di pundak kanannya sudah membaik. Tapi, itu semua tidak bisa meluluhkan Nadia. Tetap saja Nadia menyeret paksa Mikey ke puskesmas.
"Hoek.. Hoek..." Mikey langsung menutup hidungnya. Wajahnya sedikit memucat. Begitu masuk ke dalam puskesmas, dia langsung merasa mual. Perpaduan aroma cairan antiseptik, alkohol dan bau obat-obatan langsung menusuk hidungnya. Nadia sudah pasti tahu jika anaknya itu akan merasa tidak nyaman dengan semua hal yang berbau obat-obatan lantas menyodorkan minyak angin dengan aroma therapy, sekedar untuk meringankan mual yang sekarang diderita Mikey.
"Bun, pulang aja yuk. Ini beneran kok pundaknya Mikey udah gak sakit. Gak nyeri juga kok bun. Pulang aja yuk" Mikey menjadi seperti anak kecil yang merengek minta mainan kepada Nadia.
"Tiduran aja kalau emang pusing. Udah nyampe di sini, udah ambil nomer antrian juga. Sayang kan kalau kita balik pulang" Nadia lantas menarik lengan Mikey dan menyandarkan kepala Mikey di pundaknya. Mikey menurut saja. Dia memang membutuhkan kenyamanan untuk saat ini.
Tiga puluh menit menunggu akhirnya kini Mikey sudah ada di ruang periksa dokter puskesmas.
"Sama mas Michael Kusumanegara. Gimana mas, apa yang dikeluhkan?" Dokter di depan Mikey bertanya sembari membaca berkas yang ada di depannya.
"Hm.. Ini dok pundak saya. Kemarin abis main bola trus jatuh. Abis itu kerasa nyeri di pundak kanan, dok" Mikey dengan lugas menceritakan keluhan dan kondisi kesehatannya. Dokter yang ada di depan Mikey itu lantas meletakkan berkas-berkas yang tadi dibacanya, lantas menyimak apa yang dikeluhkan Mikey. Beberapa kali terlihat dokter itu mengaggukkan kepalanya, tanda dia menyimak dan mengerti apa yang dikatakan oleh Mikey.
"Oke mas Michael, silakan ke tempat tidur. Dibuka ya bajunya, biar saya periksa"
"Panggil Mikey aja dok." Mikey menurut, dia lantas berdiri dan berjalan santai ke brankar periksa yang ada. Dokter itu tersenyum hangat.
"Kalau gitu panggil saya juga dengan dokter Rama aja ya" Ujarnya dengan senyum yang ramah.
Nadia yang juga ikut masuk ke ruang periksa hanya mengamati bagaimana dokter Rama memeriksa Mikey. Saat dokter Rama sedang memeriksa Mikey, tiba-tiba saja pintu ruang periksa terbuka dan nampak seorang anak kecil perempuan berusia sekitar tiga tahunan.
"PAPA!!!" Teriakan suara cempreng anak-anak seketika memenuhi ruang periksa. Ternyata dia adalah anak dari Rama, dokter puskesmas yang sekarang memeriksa Mikey.
Tentu saja teriakan itu mengagetkan semua orang yang ada di ruang periksa tersebut. Dokter Rama, Nadia, sampai satu perawat yang menjadi asisten dari dokter Rama.
"Ih.. Kakak kok gak pake baju sih. Nanti masuk angin lho" Ujar bocah itu lucu saat melihat Mikey yang sedang bertelanjang dada dan sedang diperiksa oleh Rama.
"Lho Silla, kok bisa ke sini?" Rama tentu saja bingung, bagaimana bisa anaknya itu bisa sampai di tempatnya bertugas.
"Hehehe.. Tadi tuh Silla sembunyi di kursi belakang mobil, pa. Papa sih, gak pernah liat ke belakan, jadinya gak tahu kalau Silla ada di belakangnya papa." Jawab Silla polos. Tentu saja jawaban sederhana dan polos itu mengundang gelengan kepala dari Rama.
"Silla duduk dulu ya. Papa mau periksa kakak dulu" Patuh, Silla akhirnya memilih tempat duduk di samping Nadia, kursi yang tadi di duduki Mikey.
"Adek kelas berapa, sayang?" Tanya Nadia, sekedar untuk melepas kecanggungan suasana.
"Aku belum sekolah, tante. Kalau tante, mamahnya kakak itu ya?" Silla bertanya sambil menunjuk ke Mikey yang melanjutkan pemeriksaan dengan Rama. Nadia hanya mengangguk sambil tersenyum. Tidak butuh waktu lama, Silla sekarang malah berceloteh riang dengan Nadia, dan Nadia hanya menjadi pendengar yang baik dan sesekali menimpali saja.
Selesai terapi dan pemeriksaan, Mikey lalu kembali ke tempat duduknya. Karena kursinya yang tadi sudah diduduki oleh Silla, Mikey memilih berdiri di belakang Nadia.
"Silla, ayok sini. Kasihan kakaknya gak bisa duduk kan kalau kursinya dipakai Silla?" Rama berusaha menyuruh Silla untuk memberikan tempat duduknya ke Mikey, tapi Silla malah merangkak ke pangkuan Nadia. Lalu dengan mata polosnya, dia menatap Mikey dan berkata
"Kakak, ayok duduk. Silla duduknya sama aunty aja"
"Silla...." Rama memanggil dengan nada rendah, tampaknya sudah tidak sabar lagi menghadapi anaknya yang mulai bertingkah manja.
"Gak apa-apa dok. Saya pangku saja." Ujar Nadia sambil mengelus ringan rambut Silla.
"Tuh, kan pa, aunty aja gak apa-apa. Ayok kakak, duduk sini. Nanti capek lho berdiri terusan" Lagi, Silla menyuruh Mikey untuk duduk di kursi yang tadi ditempatinya. Akhirnya, daripada berdiri Mikey duduk di kursi kosong yang tadi digunakan Silla.
"Bu, Maaf ya. Anak saya bikin repot gini" Rama meminta maaf ke Nadia. Bagaimanapun Silla sudah bertingkah aneh.
Selesai memberikan resep dan menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh Mikey, Nadia dan Mikey-pun pamit dari ruang periksa Rama. Butuh sedikit drama, karena tampaknya Silla tidak mau pergi dari pangkuan Nadia. Silla baru mau turun dari pangkuan Nadia hanya setelah Rama membujuknya jika nanti akan mengajaknya bermain bersama Nadia dan Mikey lagi.
Mikey tetaplah Mikey. Dia masih saja tidak menghiraukan saran dari Rama. Setelah selesai berobat tetap saja Mikey langsung bergabung dengan teman-temannya, untuk apa lagi jika tidak bermain bola. Nadia yang mengetahui bandelnya Mikey, langsung saja tanpa ampun mendatangi lapangan dimana Mikey bermain. Tanpa ampun, Nadia langsung saja menjewer telinga Mikey dan meyeretnya untuk kembali ke unit rumah susun mereka. Tanpa mereka tahu, interaksi ibu anak yang heboh itu diamati oleh sepasang mata dan itu adalah Dito.
"Kenapa hatiku mengatakan kalau Mikey itu anakku?" Ucap Dito sambil meraup kasar wajahnya. Dia semakin frustasi saat membaca data-data Mikey dari sekolah yang didapatkannya tadi pagi.
Dito mengetuk-ngetukkan kepalanya di setir mobil. Sekarang, dia ada di dalam mobilnya dan bisa dengan jelas melihat bagaimana bahagianya Mikey saat bermain sepak bola bersama dengan teman-temannya di lapangan samping rumah susun mereka. Bertelanjang dada dan membiarkan kulitnya terbakar matahari sore, Mikey terus saja tertawa mengejar bola sampai akhirnya Nadia datang dan menyeretnya pulang. Tepukan dan sorak sorai dari Mikey yang diseret Nadia mengakhiri pemandangan yang membuat Dito menjadi miris. Di otaknya dipenuhi banyak sekali pertanyaan. Tentang Nadia, tentang Mikey, tentang fakta foto hasil rekayasa, tentang keluarganya sekarang. Dan, Dito benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbagi Hati (Tamat)
Художественная прозаSaat tidak ada yang mempercayai. Saat semua ditimpakan tanpa bisa bersuara. Saat semuanya nampak sudah usai, Tapi.... Bagaimana jika dia kembali? Bagaimana jika yang sebenarnya terkuak? dan, Bagaimana jika harus berbagi hati? Cover by Canva