Part 35

3.3K 197 5
                                    

Kenyataanya, pernikahan Nadia cukup membawa dampak yang serius pada Dito. Seminggu setelah menghadiri resepsi pernikahan Nadia, Dito drop dan harus masuk ke rumah sakit. Dokter Ridwan yang menangani mengatakan jika kondisi Dito sangat dipengaruhi dengan pola hidupnya. Satu minggu ini memang pola hidup Dito kembali kacau. Dia kembali gila kerja dengan tidak mengenal waktu. Tujuannya sudah jelas, ingin melupakan semua tentang Nadia. Tapi itu semua menjadi bumerang bagi kesehatannya. Dia harus tumbang dan kembali rawat inap di rumah sakit.

"Dok, sebenarnya selain melakukan transplantasi hati, apa tidak ada solusi lain untuk Dito, anak saya?" Budianto dengan serius menanyakan tentang terapi yang harus dilakukan oleh Dito.

"Bisa sih pak. Tapi ya memang nantinya seumur hidup pak Dito akan tergantung pada obat-obatan. Selain itu, butuh juga kedisiplinan dari pak Dito sendiri. Harus mengubah pola hidup dan memperhatikan diet makanan"

"Kami sudah memeriksakan diri semuanya, tidak ada yang cocok dan bisa menjadi donor untuk anak saya." Seluruh keluarga besar dari Budianto dan juga Erna sudah memeriksakan diri namun tidak ada satupun dari mereka yang cocok.

"Kenyataannya memang seperti itu pak. Kecocokan organ untuk transplantasi gak semudah yang dibayangkan orang. Saran saya sekarang ya pak Dito harus bisa mengubah pola hidup dan rajin untuk terapi. Ini penting agar organ hati yang rusak tidak semakin meluas"

Budianto keluar dari ruang konsultasi dokter Ridwan dengan wajah yang tertekuk. Tidak ada solusi lain selain melakukan transplantasi hati. Masalahnya, untuk mencari pendonor yang tepat juga ternyata tidaklah mudah. Semua keluarga terdekat sudah dihubungi namun hasilnya memang tidak ada yang bisa mendonorkan hatinya untuk Dito.

Budianto merebahkan tubuhnya dengan sedikit kasar pada sofa tunggu di ruang rawat inap Dito. Sudah ada Erna yang juga menunggu di sofa itu.

"Bagaimana?" Erna bertanya singkat pada Budianto. Lalu Budianto menggeleng pelan.

"Gak ada, mah. Satu-satunya ya dengan transplantasi itu. Tapi kan mama tahu sendiri, kita udah cek semuanya dan gak ada yang cocok sama Dito kan?" Jawab Budianto lugas.

"Belum semuanya pah. Masih ada Mikey kan pah. Dia kan anak kandung Dito, jadi kemungkinan dia juga bisa menjadi donor kan pa?" Erna tiba-tiba saja mengingat bahwa masih ada satu orang yang mungkin menjadi pendonor namun belum sempat terlintas di benak Budianto dan keluarganya.

"Mah, apa mamah udah gila? Mama masih inget kan gimana perlakuan kita ke mereka? Apa mungkin sih mah kita tiba-tiba aja dateng trus kita minta Mikey buat cek kesehatannya." Jelas saja Budianto langsung menolak ide istrinya itu. Mendapatkan maaf dari mereka berdua saja masih belum tahu, sekarang tiba-tiba saja dia meminta hal yang sangat berat ke mereka.

"Tapi kemungkinan itu ada kan pah. Bisa saja kalau ternyata Mikey yang cocok buat Dito"

"ENGGAK! Dito gak mau dan juga gak akan pernah setuju!" Dito berucap dengan sedikit berteriak. Dia memang sudah bangun sedari tadi, tapi rasa pusing di kepalanya membuatnya memilih untuk hanya menutup matanya. Lontaran perkataan dari Erna memaksanya untuk bangun dan membuka suara.

"Dito milih mending Dito aja yang sakit kayak gini daripada harus libatin Mikey. Sakit yang Dito rasain sekarang, gak sebanding sama sakitnya Nadia sama Mikey dulu. Pokoknya Dito gak mau kalau Mikey dilibatin" Dito kembali menegaskan kalau dia tidak mau melibatkan Mikey.

"Tapi kemungkinan kalau yang cocok itu Mikey ada kan? Dia itu anak kandung kamu" Erna masih mencoba meyakinkan Dito untuk mau menerima usulannya.

"Sekarang coba mama pikir, mama udah pernah ngasih apa ke Mikey? Apa yang udah mama lakuin ke Mikey? Enggak ada kan? Trus sekarang, mama minta Mikey buat donorin hatinya buat Dito? Dimana sih perasaan mama?" Nada suara Mikey sedikit naik saat Erna masih saja mencoba meyakinkan pendapatnya.

"Baru aja Mikey mau manggil Dito ayah. Baru aja hubungan Dito sama Mikey jadi deket, trus tiba-tiba Dito nyuruh dia buat donorin hatinya? Enggak! Pokoknya enggak!" Erna langsung diam saat melihat bagaimana kerasnya Dito menolak idenya.

"Udah.. Udah... Kita akan coba cari solusi lainnya. Dan kamu Dito, papa sebelum ke sini sempet ke konsul dan dokter Ridwan bilang kalau kamu harus rutin ikut terapi. Harus perbaiki juga pola hidup kamu yang papa lihat berantakan lagi seminggu ini. Jangan lupa istirahat dan jangan makan sembarangan. Kalau perlu sekarang, jangan makan lagi di luar rumah. Biar kita bisa tahu, apa yang masuk ke tubuh kamu" Budianto mencoba untuk menengahi perdebatan antara Dito dan Erna. Dia juga berusaha mengalihkan topik ke yang lainnya.

***

Setelah resmi menikah dengan Rama, kini Nadia dan Mikey tinggal bersama di rumah Rama. Bukan hal mudah sebenarnya meninggalkan unit rumah susun yang sudah ditempatinya selama ini dengan Mikey. Banyak kenangan dan cerita di unit rumah susun itu dan sekarang, Nadia dan Mikey harus meninggalkan semuanya. Jadilah, rumah Rama yang biasanya sepi karena lebih sering Rama tinggal sendirian karena Silla lebih sering ada di rumah Wahyudi daripada di rumah Rama, sekarang menjadi lebih ramai. Pagi ini misalnya, Nadia sudah disibukkan di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi untuk Rama dan kedua anaknya. Tidak masalah bagi Nadia karena selama ini juga dia sudah masak sendiri selama masih tinggal berdua saja dengan Mikey. Hanya sekarang, porsi masakannya menjadi lebih banyak.

"Kamu bulan depan udah Ujian Nasional kan? Belajar yang bener. Ntar biar gampang cari tempat kuliahnya" Rama berucap sambil mengoleskan selai di atas roti tawarnya. Dia memang terbiasa hanya sarapan dengan roti saja.

"Kalau itu kayaknya udah dari orok deh pah. Buktinya, Mikey mesti dapet beasiswa kok" Mikey berucap sombong. Sama dengan Rama, pagi ini Mikey memilih sarapan dengan roti saja.

"Udah sering bunda bilang, jangan sombong gitu! Gak baik. Tetep harus belajar. Inget ya semuanya itu Tuhan yang kasih. Gak boleh sombong" Lagi, Nadia mengingatkan Mikey dan dibalas Mikey dengan kekehan ringan.

"Emang habis lulus ntar mau lanjut kemana? Pengen kuliah apa?" Tanya Rama kemudian

"Mikey pengen ambil arsitektur, pah. Moga aja ketrima ya pa di jurusan arsitek" Rama tersenyum mendengar cita-cita sederhana dari Mikey. Dia merangkul pundak Mikey dari samping sambil sesekali mengusap pelan.

Selesai makan pagi, Nadia lalu membereskan piring-piring kotor yang ada di meja makan. Mata Mikey sedikit memicing ke arah Nadia. Setelah Nadia berada di dapur, Mikey lalu menyenggol pelan Rama yang duduk di sampingnya.

"Pah, papa kayaknya mainnya kurang alus. Tuh lehernya mama merah-merah kebiruan. Mana banyak lagi!"

"Uhhuk... Uhhuukk..." Rama langsung tersedak dan menoleh ke arah Mikey. Wajahnya memerah.

"Mikeeeyyyy....." Rama menggeram dengan suara yang ditahan. Sementara, Mikey langsung beranjak pergi dari ruang makan.

"Pah, Mikey berangkat dulu..." Ujarnya sambil mengambil tangan Rama dan menciumnya. Setelah itu dia berlari meninggalkan Rama yang masih kesal karena pertanyaan konyol dari Mikey. Tampaknya, kini dia harus lebih berhati-hati lagi. Mikey sudah beranjak dewasa. Bukan lagi anak kecil seusia Silla yang dengan mudah bisa dialihkan perhatiannya.

Berbagi Hati (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang