🌺Part 7🧊

5K 219 0
                                    

Kira-kira sepuluh hingga lima belas menit, Prada mulai menenangkan diri menyadari bahwa dirinya terlalu terbawa emosi.

Keina menatap maklum, tangannya bergerak mengusap-usap punggung temannya yang sedang bersedih mengingat masa lalu.

"Maaf, aku ... aku hanya ...." Prada mengusap air mata di wajahnya. Ia merasa malu, padahal Keina sedang terluka, ia malah menangis seperti ini.

Seujurnya Keina bingung harus mengatakan apa. Ia tidak tahu ternyata Permaisuri orang yang seperti itu. Tapi, benarkah Resna dibunuh oleh Permaisuri? Banyak hal yang ingin ia ketahui di balik kematian wanita bernama Resna itu, tapi sepertinya untuk saat ini biarkanlah terlebih dahulu.

Prada benar, ia belum lama tinggal di istana, terlebih waktunya ia habiskan mencuci pakaian setiap hari sepanjang waktu. Tidak mengenal siapapun, kecuali Prada dan rekan-rekannya yang lain.

"Harusnya aku yang minta maaf." Setelah keheningan menyelimuti mereka berdua, Keina membuka suara. "Gara-gara aku, kita jadi tidak mendapatkan makanan yang layak, aku benar-benar sangat minta maaf."

Prada menarik pilek di hidungnya. "Kau tidak usah khawatir. Koki itu tidak akan bertindak jauh lebih dari ini. Saat makan siang tiba, semua akan baik-baik saja, dia pasti juga tidak ingin kalo sampai masalah ini terdengar ke telinga Bibi Tera."

"Tapi, sarapan kita-"

"Tenang saja, kau lihat kan? masih ada roti yang bisa kita makan sebagai gantinya."

Keina masih belum bisa tenang. Ia masih merasa bersalah. Prada meraih tangannya dan menggenggamnya.

"Keina, aku harap masalah ini cukup selesai sampai di sini. Kita tidak perlu melakukan apapun lagi, sudahlah, biarkan saja. Orang-orang jahat seperti itu tidak akan berani berbuat lebih dari apa yang bisa mereka lakukan, bagaimanapun di istana ada Kaisar dan Ibu Suri yang menjunjung tinggi keadilan. Kita memang pelayan tingkat rendah, tapi kita akan baik-baik saja kalo kita diam menerima semuanya. Keina, hargailah hidupmu, jangan menyia-nyiakan nyawamu hanya karena kecerobohanmu."

Mereka tidak akan berani berbuat lebih dari apa yang bisa mereka lakukan, tapi kenyataannya di belakang Kaisar dan Ibu Suri, sudah ada seseorang yang dengan mudahnya membunuh nyawa pelayan di tempat ini. Miris sekali. Di manapun kamu berada, keadilan memang tidak mudah didapatkan meski memiliki penguasa yang bijaksana sekalipun.

•••

Di istana Lumina, tepatnya di salah satu taman yang begitu indah ditambah cuaca sore hari yang cerah sangat mendukung sekumpulan wanita berjumlah lima orang sedang duduk bersama menempati salah satu paviliun.

"Tempat ini sungguh cantik, Yang Mulia. Terima kasih sudah mengundang kami minum teh bersama," ucap Watela, gadis ceria seperti biasanya.

Ibu Suri yang duduk di tengah-tengah tersenyum anggun. "Aku tidak punya anak perempuan. Aku harusnya berterima kasih pada kalian karena sudah mau menemani wanita tua sepertiku ini."

"Yang Mulia, janganlah berkata seperti itu. Kami senang bisa menghabiskan waktu yang damai bersama anda." Daina menanggapi dengan dewasa.

"Benar, bukankah tujuan kita tinggal di sini karena, Yang Mulia Ibu Suri? tentu saja kami tidak keberatan menemani anda setiap hari," timpal Erliza.

Ibu Suri tersenyum menahan tawa setelah mendengar perkataan Erliza. "Aku bisa sakit kepala kalau kalian terus-terusan berisik di sekitarku."

Daina, Erliza, dan Watela tertawa dengan khas wanita bangsawan tingkat tinggi. Sedangkan sang permaisuri Malia yang duduk di dekat Ibu Suri hanya diam sambil berpura-pura menikmati teh di cangkirnya.

Selir Kesayangan KaisarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang