Bagian 9

3.9K 510 27
                                    

Haechan memasang senyum simpul saat Giselle duduk di sampingnya. Malam ini gadis itu terlihat sangat natural. Memakai baju tidur warna putih pucat dengan motif beruang, rambutnya yang digerai dengan badana terpasang di sana. Meski mata sembab itu masih ada, namun itu tidak berpengaruh sama sekali. Haechan boleh jujur, kan? Giselle terlihat menggemaskan.

"Kenapa malam-malam ke sini?" tanya Giselle dengan suara serak, entah habis menangis atau karena dia sudah tertidur tapi harus bangun lagi.

"Hanya mengecek keadaan dirimu. Kau baik?" Haechan mengubah posisi duduknya supaya lebih leluasa memandang Giselle.

"Aku harus jawab bagaimana?" Giselle menarik napas lemah. "Jika aku bilang tidak baik, itu akan menyinggung perasaanmu, tapi jika aku bilang baik, kenyataannya jauh dari itu."

Haechan berdecak pelan. "Kau sedang dalam keadaan tidak baik? Benar?" Dan Haechan mendapat anggukan.

"Bilang saja, tidak apa-apa, sungguh. Aku tidak akan tersinggung, sebaliknya, jika kau berbohong, aku akan sangat tersinggung, Jijel."

Giselle mengerjapkan mata, dari mana Haechan tahu nama itu? "Kau memanggilku Jijel, tahu dari mana?"

"Hei, kau lupa kau sudah sangat terkenal sekarang? Panggilanmu itu sudah sangat lumrah, aku sering mendengarnya." Haechan terkekeh gemas, Giselle benar-benar polos ternyata.

Giselle mencebik, lalu mengalihkan pandangannya ke televisi yang mati. Ya, mana dia tahu jika Haechan sudah sering mendengar nama panggilannya itu.

"Maaf sudah menghilang seminggu ini."

"Hah?"

Haechan lagi-lagi terkekeh, agak merasa tergelitik melihat bagaimana wajah Giselle yang cengo, antara terkejut dan bingung.

"Aku bilang maaf sudah hilang seminggu ini, aku sakit," ujar Haechan.

"Eh? Kau sakit?" Mungkin karena refleks yang timbul karena rasa manusiawi, tangan Giselle bergerak lalu menempel di kening Haechan, kemudian beralih pada leher pria itu guna mengecek suhu tubuhnya.

"Astaga, panas!" pekik Giselle, tangannya masih setia di sana, di leher bagian kanan Haechan.

Haechan yang mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa mengerjapkan mata beberapa kali, merasakan tangan Giselle yang dingin menyentuh langsung kulit tubuhnya. Setelah itu, dia tersenyum.

"Tidak apa-apa, tidak usah panik seperti itu." Tangan Haechan mengambil pergelangan tangan Giselle dan menurunkannya. Sungguh, saat tangan Giselle menyentuh area lehernya, Haechan seperti merasakan gelenyar aneh, dan itu tidak baik.

Sadar akan tingkahnya, Giselle langsung salah tingkah. "Ah, maaf, aku lancang."

"Tidak masalah."

Kemudian keadaan menjadi canggung. Haechan pernah merasakan kecanggungan seperti ini. Rasanya persis seperti pertemuan pertamanya dengan Ryunjin setelah mereka memutuskan untuk berkencan, sangat familiar.

Sedangkan Giselle baru pertama kali. Jadi, untuk menutupi rasa malunya, Giselle menatap ke sembarang arah. Mulai dari atap, lemari televisi, tempat peliharaan Ningning berada, ke semua.

Gelagat aneh Giselle tentu tidak lepas dari perhatian Haechan. Pria itu menggelengkan kepala pelan, merasa lucu akan Giselle yang salah tingkah.

"Yang lain ke mana? Dari tadi aku hanya melihat Winter saja," ucap Haechan, basa-basi sebenarnya.

"O-oh, Karina dan Ningning?" Giselle meruntuk bisa-bisanya dia berbicara terbata. "Aku juga tidak tahu, sejak tadi aku diam di kamar."

"Kenapa? Untuk apa kau diam di kamar? Membaca semua komentar tidak berguna itu, hm?" tanya Haechan tidak suka.

Fake Rumor!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang