what if; cuddle

2.1K 153 15
                                    

Haechan menghembuskan napasnya sekali, sesaat setelah dia berhasil parkir dengan benar di basemen apartemennya. Mematikan mesin mobil, Haechan menyandarkan kepalanya ke atas stir. Memijat pangkal hidungnya saat merasa pening di kepala mulai terasa.

Hari ini jadwalnya amat sangat padat. Ah, bukan hari ini saja, dari tiga hari sebelumnya maksud dia. Jadwalnya benar-benar penuh, dari jam ke jam, dari menit ke menit. Di mulai dari matahari belum terbit sampai dini hari, dari matahari terbenam sampai matahari terbit kembali, badannya tidak berhenti bekerja.

Haechan merasa lelah luar biasa. Badannya terasa remuk di mana-mana, pundak dan lututnya sakit, bahkan jantungnya juga sesekali berdetak anomali. Haechan juga belum mendapat tidur tiga hari ini. Dia hanya bisa memejamkan mata sekejap, tidak sampai satu jam, matanya sudah harus kembali terbuka.

Bukannya mengeluh atau apa, hanya saja saat ini Haechan ingin memvalidasi rasa lelahnya. Haechan senang bekerja, dia suka melakukan pekerjaannya. Namun kali ini, rasa-rasanya tubuh Haechan memang sudah tidak bisa di ajak kerjasama. Sampai-sampai mau sebagai manapun Haechan mesugesti diri bahwa rasa lelahnya ini wajar, tidak boleh terlalu dirasa dan harus bisa bertahan, tubuhnya menolak.

Bekerja di dua unit berbeda bukanlah pekerjaan mudah. Haechan harus bisa membagi waktu antara latihan dengan unit 127 dan unit Dream. Latihan beberapa koreografi berbeda juga terkadang melelahkan meski Haechan suka melakukannya. Meeting untuk kelanjutan come back kedua unit, merekam lagu untuk album kedua unit, belum lagi jika ada tambahan show atau festival. Semua itu terkadang membuat Haechan kewalahan. Hanya saja Haechan bertahan dan berjuang sekuatnya, agar dapat memberikan yang terbaik untuk semua orang yang sudah mendukungnya.

Dan kini, saat tubuhnya sudah sampai pada batasnya, Haechan hanya dapat menghela napas sebanyak yang dia bisa. Setidaknya untuk kali ini, Haechan ingin menuruti apa yang tubuhnya mau. Beristirahat setelah tiga hari tidak dapat hanya sekedar berbaring.

Setelah berdiam diri sekitar sepuluh menit di dalam mobil, Haechan akhirnya keluar. Menyampirkan tas dipundak kanan, Haechan melirik arloji di tangan. Pukul sebelas malam. Hampir tengah malam, dan dia baru ingat bahwa dia belum makan. Pemuda itu berdecak, memilih abai, atau mungkin nanti jika dirasa dia sudah memiliki niat, dia akan memesan makanan.

Kakinya mulai melangkah. Berjalan pelan, sambil terus memijat pangkal hidung guna meredam rasa pening yang tak kunjung hilang. Dan lagi, bahkan untuk di bawa berjalan saja kakinya seperti terasa bergetar.

Setelah beberapa saat berjalan, Haechan akhirnya masuk ke dalam lift. Menekan tombol untuk menuju lantai dimana unit apartemennya berada. Butuh waktu sekitar dua menit untuk sampai, Haechan akhirnya keluar. Kembali berjalan untuk menuju pintu unitnya, kali ini jalannya agak cepat, karena dia sudah tidak sabar untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Memasukan password, Haechan akhirnya sampai. Pemuda itu menarik napas begitu panjang, lalu menghembusnya perlahan. Merasa lega luar biasa, sebab sebentar lagi, dia akan kembali merasakan empuknya ranjang setelah tiga hari meninggalkannya.

Haechan membuka sepatu, ingin menyimpannya ke rak dan mengambil sendal rumahannya, tapi keningnya malah mengernyit. Di sana, di rak sepatu, sudah terdapat satu pasang sneaker putih yang tersimpan rapih. Belum lagi sendal rumah yang biasanya terdapat dua pasang, kini hanya tersisa satu pasang saja.

Kinerja otaknya bekerja cepat saat tahu pemilik sneaker putih tersebut. Senyumnya merekah lebar, hingga membuatnya dengan tergesa menyimpan sepatu yang sejak tadi menggantung ditangannya, kemudian mengambil dan memasang sendal rumah dengan tergesa pula.

Haechan begitu buru-buru. Perasaannya terasa meletup-letup, rasa lelah yang tadi dirasanya pun kini hilang, digantikan dengan rasa membuncah dalam rongga dadanya.

Fake Rumor!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang