Bagian 25

3.6K 403 17
                                    

Hilang.

Sudah satu minggu sejak berita klarifikasi itu terbit, Giselle menghilang. Tidak ada satupun berita yang mengaitkan gadis itu, semua orang acuh, melupakan eksistensi Giselle dalam kasus ini. Semua orang bagaikan lupa, bahwa gadis itu pernah mereka sakiti, mereka caci.

Semua orang lupa, tapi tidak dengan Haechan. Bagaimana dia bisa lupa dengan gadis itu? Gadis yang tanpa Haechan sadari memenuhi kepala dan hatinya saat ini.

Haechan risau, khawatir. Sejak malam itu, malam di mana Giselle menangis tersedu dalam pelukannya yang bergetar, Haechan tidak mendengar lagi kabar tentang Giselle.

Malam itupun, dia tidak sampai mengantar Giselle pulang sebab gadis itu menolak. Bahkan, sepanjang mereka berdua berada di sana, tak ada satupun perkataan yang keluar dari mulut Giselle. Hanya suara tangisan yang begitu pilu di telinga Haechan.

Haechan pun tidak berani terlalu banyak bicara, hanya kata maaf dan beberapa kata penenang yang dia ucapkan, meskipun dia yakin bahwa itu sama sekali tidak berarti apa-apa.

Haechan juga tidak bisa datang ke dorm Aespa karena agensi melarangnya. Takut-takut, bahwa tiba-tiba saja berita yang sudah mereda saat ini kembali memanas, dan itu tidak baik sama sekali untuk dirinya, Ryujin dan Giselle.

Ngomong-ngomong Ryujin, gadis itu ternyata baik-baik saja. Jauh dari dugaan semua orang, yang dimana orang-orang menduga bahwa Ryujin akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan Giselle.

Akan tetapi, nyatanya tidak. Sejak berita itu mencuat, kata cacian yang di dapat Ryujin hanya sedikit, sedikit sekali, dan itu tidak menggangu. Kebanyakan dari mereka malah mendukung, memberi semangat pada Ryujin agar tidak mendengarkan perkataan orang dan fokus saja pada hubungannya dan Haechan.

Satu fakta itu, entah mengapa membuat Haechan tidak terima.

Dan saat ini, mereka berdua——Haechan dan Ryujin——bertemu, di sebuah tempat di mana dulu Haechan membawa Giselle ke sini untuk berpura-pura menjadi Ryujin.

"Apa oppa belum mendengar berita dari Aeri eonni? Aku khawatir." Ryujin bertanya, matanya menatap lurus Haechan yang tengah memandangi tempat ini dengan pandangan sukar.

"Oppa?"

Haechan sedikit berjingkat, kemudian berdehem. Diam-diam dia meruntuk, kenapa dia malah mengingat masa itu, masa yang baru dia sadari bahwa perlakuannya saat itu menyakiti Giselle, tanpa sadar.

"Belum, aku sudah bertanya pada manager ku, dan dia juga tidak tahu," jawab Haechan, jika ditelisik lagi, suara Haechan sedikit putus asa.

Bahu Ryujin mengendur, matanya berpedar sendu. Perasaan bersalah begitu menghujamnya. Seharusnya saat ini dia tidak setenang ini, seharusnya saat ini dirinya juga mendapat perlakuan yang sama dengan Giselle dulu, seharusnya ....

Masih banyak kata seharusnya yang di rapalkan Ryujin. Sungguh, ini sangatlah tidak adil.

Mengapa dulu Giselle begitu dibenci sedangkan dirinya tidak? Apa orang-orang sejahat itu? Ryujin tidak habis pikir.

"Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Ryujin lagi, merujuk pada Haechan.

Mata Haechan sedikit melebar, lalu menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Baik tentu saja, mengapa kau berkata seperti itu, hm?"

"Pandanganmu kosong, apa kau tidak sadar?"

Haechan meneguk ludah. Ah, terlihat, ya?

"Tidak ... hanya saja aku khawatir, Giselle baik-baik saja, kan? Maksudku, terakhir kali aku bertemu dengannya, keadaan Giselle tidak baik, aku takut dia kenapa-napa," aku Haechan, nada bicaranya kentara sekali khawatir.

Ryujin mengulas senyum. Dalam hati, dia terus mencoba menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba saja menyergapnya. Tidak! Wajar saja Haechan khawatir, karena pada hakikatnya pria itu bersalah. Dia tidak seharusnya merasa tidak suka.

Tidak boleh! Dirinya bukan orang jahat.

"Tenang saja, aku yakin dia baik. Oppa tahu sendiri bukan bahwa Aeri eonni itu kuat, buktinya dia bisa menjalani semua kepedihan yang kita beri selama dua bulan ini," ujarnya tenang.

Dan Ryujin baru sadar. Dua bulan ...

Lama. Dia baru sadar bahwa kebohongan ini berlangsung begitu lama. Kebohongan yang membuatnya semakin susah untuk bertemu dengan Haechan, pun membiarkan kekasihnya itu terus bersama dengan Giselle.

Ryujin baru saja menyadarinya.

"Ah, iya, dia gadis kuat. Tidak seharusnya aku khawatir berlebihan seperti ini. Giselle itu sangat kuat, lebih dari yang kita kira." Haechan membalas, menyunggingkan senyum miris.

Gisellenya itu kuat ....

"Nah, iyakan? Jadi jangan terlalu dipikirkan oppa." Tangan Ryujin terangkat, mengusap punggung tangan Haechan lembut.

"Iya, maaf."

"Tapi tetap saja, kau harus mencari kabarnya, jangan menyerah."

"Hei, menyerah? Tidak mungkin, aku tidak akan berhenti bahkan jika ada seseorang yang memintanya."

Sepenting itu, ya ....

"Bagus." Ryujin tersenyum. Senyum pedih jika Haechan sadar.

Sayangnya, pria itu sibuk. Sibuk memikirkan bagaimana cara untuk menghubungi Giselle, kontaknya saja tidak bisa ia hubungi.

"Sekarang ayo makan, lihat pesanannya sedang di antar." Tangan kecil Ryujin menunjuk pada pelayan yang berjalan mendekat, membawa nampan dengan beberapa mangkuk di atasnya.

Sampai akhirnya mangkuk itu berpindah tempat menjadi di atas meja mereka. Ryujin tersenyum ramah, mengucapkan terima kasih sebelum pelayan itu pamit undur diri.

Namun saat melihat minuman pesanan Haechan, Ryujin mengernyit. "Oppa sejak kapan menyukai latte?"

Mendengar itu, Haechan tersentak, untuk kemudian menatap pada minumannya. Latte, minuman yang selalu Giselle pesan jika pergi bersamanya. Minuman yang awalnya Haechan sedikit tidak suka, menjadi menyukainya.

"Ah, iya. Beberapa kali aku mencobanya saat pergi bersama Giselle, dan ternyata rasanya sangat enak," jawab Haechan tenang, meski dalam hati tiba-tiba saja merasa kosong.

"Begitukah?" Ryujin menipiskan bibir, perasaan itu kembali menyergapnya dan kali ini tidak bisa dia bantah.

"Ya, dia juga beberapa kali merekomendasikan makanan padaku, dan semua rekomendasinya sangat bagus juga enak. Dia sangat pandai untuk urusan lidah," terang Haechan tanpa diminta.

"Oh, begitu. Sepertinya saat kalian berdua itu sangat seru, ya."

"Hm, sangat seru."

Ryujin hanya mengangguk. Mati-matian dia menahan air matanya yang entah mengapa terasa ingin jatuh, jadi dia mencoba mengalihkannya dengan tersenyum.

"Baiklah, bisa kita mulai makan sekarang? Aku sudah lapar, hehe."

Haechan terkekeh, mengusak rambut Ryujin lembut. "Tentu saja, mengapa kau bertanya?"

Karena kau tampak antusias saat bercerita tentangnya.

"Tidak apa-apa. Selamat makan!" serunya, lagi-lagi mendapat usapan lembut di kepala.

Lee Haechan tanpa sadar sudah menyakiti gadisnya.

***

Menjadi Giselle memang menyakitkan, tapi menjadi Ryujin juga tidak kalah menyakitkannya.

Halo semua! Maaf menunggu lama lagi, saya baru aja selesai UAS, jadi rencana untuk up minggu kemaren harus ketunda, hehe.

See you!

Fake Rumor!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang