Bagian 27 {End}

5.2K 437 60
                                    

Lagi-lagi Haechan berlari dengan tujuan yang sama. Kakinya bergerak cepat, rambutnya berkibaran di sapu oleh angin. Jarak yang cukup jauh dari taman agensi tempat dia berbicara dengan Ryujin tadi tidak dia hiraukan. Yang terpenting baginya sekarang adalah dia bisa sampai ke sana, menemui gadisnya.

Tanpa sadar, ada setitik air mata yang jatuh ketika dia ingat bahwa sekarang dirinya dan Ryujin sudah benar-benar selesai. Gadis yang dulu begitu dia perjuangkan, begitu dia cintai dan lindungi mengucapkan kata pisah karena ulah dirinya sendiri.

Mengingat itu semua, hati Haechan sesak, apalagi dia melihat Ryujin menangis seperti tadi. Lebih menyesakan lagi saat dirinya mendengar Ryujin memilih melepaskannya untuk Giselle.

Gadis itu ... sangat, bahkan terlalu baik.

Peluh sudah membanjiri, tapi Haechan belum berhenti. Angin malam yang membuat orang-orang menggigil tak sama sekali dia hiraukan.

Sampai akhirnya dia sampai. Dengan napas memburu, dirinya menatap bangunan di depannya. Bangunan di mana gadis yang di cintainya tinggal.

Tanpa menunggu hanya untuk sekedar mengistirahatkan tubuh, Haechan kembali lari masuk. Menekan lift dengan tergesa, akan tetapi lift itu tidak kunjung terbuka.

"Ayolah!" Haechan berdecak sebal, sampai akhirnya memilih untuk kembali berlari ke arah tangga darurat.

Seorang Lee Haechan mendadak gila karena seorang gadis.

***

Napasnya yang tak beraturan, menatap tidak percaya dua orang di hadapannya. Matanya melotot, kernyitan di dahinya kentara.

"Haechan kau di sini?" tanya orang itu kaget.

"Harusnya aku yang harus bertanya pada kalian, kenapa kalian bisa di sini?"

Dua orang itu--Jeno dan Jaemin--bungkam, bingung harus menjawab apa. Sampai akhirnya pintu di depan mereka terbuka, menampilkan Winter yang kaget melihat kedatangan ketiganya.

Ah, bukan ketiganya, hanya pada Haechan saja.

"Sunbae?" cicitnya kecil, untuk kemudian menatap Jaemin dengan pandangan bertanya yang mendapat gelengan dari pria itu.

"Winter, apa Aeri ada?" tanya Haechan langsung, matanya bergulir ke dalam, sedangkan Winter hanya diam, tidak menjawab.

Tak kunjung mendapat jawaban Haechan berdecak. "AERI, KAU ADA DI DALAM? INI AKU, HAECHAN!" Haechan berteriak.

Ketiga orang yang ada di sana masih diam, menatap Haechan iba, apalagi penampilan pria itu kini kacau.

"Winter, kenapa kau diam saja? Tolong panggilkan Giselle, aku ingin berbicara dengannya. Jika dia tidak ingin bertemu denganku, bilang padanya bahwa aku hanya ingin minta maaf." Haechan maju, menggoyangkan kedua tangan Winter, tanda memohon.

"Chan." Jaemin membawa Haechan mundur. "Jangan seperti ini, kau tenang dulu."

"Tidak bisa, aku harus bertemu Giselle. Dua minggu dia tidak ada kabar, aku khawatir, kau tahu?" cerca Haechan, menepis tangan Jaemin yang bertengger di bahunya.

Kemudian dia kembali menatap Winter yang masih terpaku di tempat. "Winter, tolong ...."

Winter gelagapan, kedua tangannya memilin. Matanya kembali menatap Jaemin, meminta persetujuan. Jaemin yang mengerti langsung menganggukkan kepala, membuat Winter menghela napas.

"A-aeri eonni tidak ada di sini, Sunbae," jawab Winter pelan.

"Apa? Kemana?" Perasaan Haechan jadi tidak enak.

"Jepang, Giselle pulang ke Jepang, Haechan." Itu Jaemin yang bilang, sedangkan Jeno yang ada di sampingnya hanya diam memperhatikan.

"Maksudmu apa? Dari mana kau tahu? Ah, dia sedang berlibur? Ingin menemui keluarganya, ya?"

Jaemin menipiskan bibir, dia merasa tidak tega. "Tidak, dia pulang untuk selamanya. Giselle sudah keluar dari agensi, Chan."

Hanya dengan begitu Haechan mencelos dalam. Penglihatannya berkabut, kontras dengan Winter yang sudah menundukkan kepala, menangis secara diam-diam.

"Kau bercanda, kan? JAWAB, KAU BERCANDA KAN NA JAEMIN?" Tanpa sadar Haechan berteriak, tangannya mencengkram bahu Jaemin erat-erat.

"Bagaimana aku bisa bercanda dengan masalah ini?"

Sekujur tubuh Haechan lemas, pikirannya mendadak kosong. Sorot matanya bingung, sayu, sendu. Cengkeramannya di bahu Jaemin mengendur, turun perlahan hingga akhirnya dia ambruk. Terduduk.

"Kalian bercanda," ujarnya parau. Tenggorokannya sakit menahan tangis, hatinya apalagi.

"Dia tidak mungkin pergi, kalian pasti berbohong, kan? Jangan seperti ini, kalian menyakitiku."

Jaemin dan Jeno ikut berjongkok, mengusap bahu dan kepala Haechan iba. Sebenarnya mereka datang ke sini untuk membicarakan masalah ini.

Ya, mereka berdua, atau lebih tepatnya member Dream yang lain sudah tahu. Mereka tahu tentang keputusan Giselle, mereka tahu keberangkatan Giselle. Mereka jugalah yang membantu mengurus semua hal mengenai pengunduran diri Giselle.

Tadinya mereka akan membicarakannya baik-baik pada Haechan, menjelaskan semua alasan mengapa Giselle sampai mengambil keputusan berat seperti ini.

Akan tetapi, Haechan malah mengetahuinya lebih dulu, dalam keadaan kacau pula.

"Chan, maaf. Kami ingin memberitahumu tentang ini, tapi kami belum menemukan waktu yang tepat," jelas Jeno pelan, rasanya tidak tega melihat Haechan yang sekarang.

"Kalian jahat, apa kalian tidak tahu usahaku selama dua minggu ini hanya untuk mendengar barang secuil informasi mengenai Giselle? Aku berusaha sangat keras, tidak ada yang mau membantuku. Aku abai karena berpikir kalian hanya ingin aku bertanggung jawab, tapi nyatanya?" Haechan terkekeh pelan, menatap dua sahabatnya kecewa.

"Kami punya alasan, Haechan. Tolong dengarkan dulu," pinta Jaemin, memohon.

"APA KALIAN TAHU BAHWA AKU TERSIKSA, HAH? AKU MENCINTAI GADIS ITU, AKU RINDU GADIS ITU, TAPI SEKARANG APA? Dia malah pergi, meninggalkanku sendiri ...."

Semua yang ada di sana terhenyak, Haechan sudah sejauh ini?

"Chan ...."

"Aku dan Ryujin bahkan sudah selesai ...." Sampai pada akhirnya tangis yang coba Haechan tahan mengudara dengan pelik.

Haechan meruntuk, memaki dirinya sendiri. Ini semua salahnya, semua yang terjadi di akibatkan olehnya.

Jika saja dia tidak mengambil keputusan yang salah waktu itu, pasti ini semua tidak terjadi.

Jika saja dia bisa mengambil jalan lebih baik, keadaan pasti tidak seperti ini.

Dan andai saja dia tidak jatuh cinta, tidak akan ada hati yang tersakiti seperti saat ini.

Semua ini salahnya, karena dirinya.

Karena Haechan sudah berani bermain dengan dua hati.

__End.

***

YEAY FINALLY BOOK INI END!!

Bagaimana endingnya? Terduga oleh kalian atau tidak?

Saya mau ngucapin terima kasih sebanyak-banyaknya pada kalian yang sudah menyempatkan untuk membaca, memberi vote, memberi komen, dan memberi begitu banyak dukungan pada saya.

Terima kasih banyak. Tanpa kalian, book ini mungkin tidak akan selesai.

Love you❤️

Oh, iya. Akan ada epilog nanti, jika saya sudah sempat.

Oke, see you in another story!

__2022.06.23

Fake Rumor!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang