Bagian 17

3.6K 545 44
                                    

Bagian tertinggi dari gedung ini jadi tempat pilihan Haechan untuk membawa Giselle. Suasana yang sepi juga semilir angin yang cukup dingin cocok dengan keadaan mereka. Haechan dan Giselle masih sama-sama terdiam, tidak ada yang membuka pembicaraan semenjak kaki mereka menginjak tempat ini.

Haechan memandang ke arah depan, menatap berbagai gedung yang lebih tinggi dengan lampu yang berkelap-kelip, papan iklan yang menampilkan wajah aktor, juga lainnya.

Giselle juga sama, dia menatap ke sembarang arah dengan tangan yang saling mengusap guna menghangatkan. Giselle itu tidak tahan pada udara dingin, apalagi dress yang dia gunakan saat ini sangat minim untuk menutupi setiap bagian tubuhnya. Bahu yang terekspos, rok sebatas lutut, juga rambut yang di ikat membuat udara dingin langsung menusuk ke kulit Giselle. Membuat Giselle mau tidak mau menggigil kecil.

Haechan berdehem. "Jel," panggilnya.

Giselle hanya bergumam untuk menjawab. Membuat Haechan mengernyit, lalu pria itu menengok, hanya untuk menemukan Giselle dengan bibir yang bergetar kecil, juga tangan yang mengusap lengan bagian atasnya.

"Astaga, Jijel!" Haechan panik, membuka jas yang dia gunakan lalu memakaikannya pada tubuh Giselle. Giselle tidak menolak, gadis itu hanya diam saja saat Haechan dengan gerakan sedikit tergesa memakaikan jas pada tubuhnya yang sudah cukup dingin.

"Masih dingin?" tanya Haechan saat jas miliknya sudah terpasang sempurna.

Giselle menggeleng, tapi bibirnya masih sedikit bergetar. "Tidak terlalu," jawabnya kecil.

"Tapi tanganmu masih dingin. Sini." Haechan mengambil tangan Giselle, menggosokkan tangannya sendiri pada tangan mungil itu, berharap bisa menghasilkan rasa hangat yang bisa membuat Giselle merasa jauh lebih baik.

Giselle terdiam, menatap Haechan dengan tatapan yang tidak bisa di jabarkan. Rasa hangat itu kembali lagi, mengalir begitu saja dalam hati Giselle.

"Maaf, aku bodoh telah membawamu ke tempat ini tanpa melihat keadaan terlebih dahulu," ujar Haechan tanpa melihat ke arah Giselle. Dirinya masih sibuk dengan terus menerus menggosok tangan Giselle menggunakan tangannya sendiri.

"Tidak apa-apa," jawab Giselle.

"Bagaimana? Tanganmu sudah hangat?" Giselle mengangguk. Bukan hanya tangannya saja yang hangat, tapi hatinya juga.

Haechan menatap Giselle sebentar, kemudian melepaskan tangannya. Pria itu menunduk, membuat Giselle mengernyit.

"Maaf."

"Hah?"

"Maaf sudah sengaja mengabaikan dirimu beberapa hari ini."

Ucapan Haechan barusan membuat Giselle tercenung dalam. Jadi, Haechan melakukan itu secara sengaja, ya?

Awalnya Giselle mengira bahwa Haechan tidak pernah lagi menghubunginya itu karena pria itu sibuk, tapi ternyata Giselle salah.

"Maksudnya bagaimana?"

Haechan menghembuskan napas. "Jel, jika aku mengatakan ini, tolong jangan salah paham, ya. Aku hanya ingin jujur padamu."

"Bicara yang jelas, Haechan. Aku tidak mengerti," ujar Giselle kesal.

"Ryunjin memintaku untuk tidak terlalu dekat denganmu."

Giselle terdiam, benar-benar terdiam.

"Bukan berarti aku harus menjauhi mu, tapu hanya menjaga jarak saja. Dia minta, supaya aku perhatian sewajarnya saja padamu, tidak terlalu berlebihan juga tidak terlalu kurang," jelas Haechan.

"Aku tahu, seharusnya aku tidak menyembunyikan ini darimu. Tidak seharusnya aku menjauh begitu saja tanpa menjelaskan apapun padamu. Maaf, Jijel."

Giselle masih terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa. Suaranya terasa tercekat. Jadi, sudah sampai di titik ini. Titik dimana Giselle pernah menduga ini sebelumnya.

Sejak awal, Giselle tahu bahwa rencana ini tidak akan berjalan mulus sebagaimana mestinya. Pasti akan ada banyak rintangan yang harus dia ataupun Haechan lewati. Salah satunya ini. Kecemburuan yang cepat atau lambat akan muncul dalam diri Ryunjin.

"Tidak apa-apa. Ryunjin benar, kita seharusnya tidak terlalu dekat. Kita ini bukan siapa-siapa, Haechan. Kita ini hanya sebatas senior dan junior, tidak lebih dari itu. Wajar jika Ryunjin meminta hal ini padamu, karena jika aku ada di posisi Ryunjin, aku juga akan melakukan hal yang sama," kata Giselle di akhiri senyum tipis.

Haechan terhenyak. "Hubungan kita tidak hanya sebatas itu, Jijel. Tidak hanya sebatas senior dan junior, kita teman, kita keluarga."

"Iya, aku tahu. Aku hanya menjabarkan hubungan kita dari segi penglihatan Ryunjin sebagai seorang kekasih dan seorang wanita saja, maaf jika kau tersinggung."

"Aku tersinggung, jangan katakan itu lagi, aku tidak suka." Haechan menatap Giselle datar. Sungguh, Haechan tidak suka dengan apa yang Giselle ucapkan barusan.

Haechan sudah susah payah mengubah hubungan mereka untuk menjadi jauh lebih baik, sampai akhirnya bisa ada di tahap 'teman'. Lalu, dengan santainya Giselle mengatakan bahwa mereka ini bukan siapa-siapa, bukan apa-apa. Haechan benar-benar tidak suka mendengarnya.

"Iya, maafkan aku."

Haechan kembali menghela napas. "Aku membawamu ke sini untuk menjelaskan perihal tadi, bukan untuk berdebat. Jadi, lupakan saja."

Giselle hanya bisa mengangguk, hingga keadaan kembali hening. Haechan terdiam dengan berbagai pikiran yang menurutnya tidak terlalu penting, juga Giselle yang terdiam karena memang dia tidak tahu harus berbuat apa.

"Aku lupa, sudah berapa lama kita seperti ini?" tanya Haechan tiba-tiba.

"Begini bagaimana?" Giselle balas bertanya, tidak mengerti sama sekali dengan apa yang ditanyakan Haechan barusan.

"Rumor ini, kau dan aku."

Giselle diam sejenak, kemudian tersenyum hambar. "Satu bulan lebih," jawabnya.

"Ah, sudah lama juga ternyata." Haechan sedikit terkekeh, memasukan kedua tangannya ke dalam kantong celana. Kepalanya mengadah ke atas.

Ternyata sudah selama itu kepura-puraan ini terjadi. Kepura-puraan yang merugikan dirinya dan Giselle. Rasanya baru saja kemarin dia melihat keadaan Giselle yang kacau karena harus berada di posisi sekarang.

"Pasti sulit, ya?" ucap Haechan pelan, menghadap Giselle sepenuhnya.

Giselle tersenyum kecil, lalu mengangguk lemah. "Sangat sulit."

Melihat senyum yang tidak berarti itu, rasanya seperti ada sesuatu dalam diri Haechan yang terasa sakit. Senyum palsu itu, sorot mata yang memancarkan rasa sedih sekaligus lelah itu, berhasil membuat perasaan Haechan terasa tercabik sesuatu. Rasanya sesak dan sakit di saat bersamaan.

"Boleh aku memelukmu?" Haechan bertanya hati-hati.

Giselle tersentak, matanya melotot. "Hah?"

Haechan tersenyum lembut, kemudian dengan hati-hati membawa Giselle kedalam rengkuhannya yang hangat. Haechan menaruh dagunya diatas pucuk kepala Giselle, matanya tertutup, menikmati angin yang tiba-tiba saja berhembus.

Sedangkan Giselle hanya bisa cengo, matanya masih melotot tidak percaya. Jantungnya berdetak luar biasa cepat. Haechan memeluknya?

"Terima kasih sudah bertahan sampai saat ini. Kau gadis yang sangat hebat, Giselle," ucap Haechan halus, sehalus kapas.

Giselle diam tidak menanggapi. "Ini pasti sangat berat bagimu. Berkorban untuk seseorang itu bukanlah hal yang gampang untuk di lakukan, tapi kau berhasil. Kau berhasil bertahan sampai titik ini, kau berhasil melewati semua ini dengan senyuman. Meski aku tahu, bahwa senyum itu palsu."

Giselle masih setia terdiam, membuat Haechan semakin erat memeluknya.

"Untuk itu, aku minta padamu untuk bertahan sedikit lebih lama lagi, ya? Sebentar saja lagi, aku janji ini akan segera berakhir."

***

Maaf, saya ingkar. Harusnya saya update itu kemarin atau kemarinnya lagi?

Beberapa hari ini saya sedang tidak sehat, jadi untuk membuat cerita itu tidak memungkinkan. Kepala saya pusing, kalo liat hp tuh remang banget. Jadi, maaf, ya!

See you again!

Fake Rumor!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang