Butuh beberapa saat bagi Haechan untuk mencerna semuanya. Giselle ada dihadapannya adalah suatu keajaiban, meski itu nyata tapi dia tetap tidak mempercayainya.
Akan tetapi setelah melihat Giselle yang berbalik, berniat pergi dari sana, Haechan bergerak cepat. Tidak, dirinya tidak boleh kehilangan lagi. Maka dengan begitu, Haechan berlari. Mengejar Giselle yang kini juga tengah berlari di depannya.
Aksi kejar-mengejar itu tak ayal menjadi atensi, apalagi Haechan tidak sengaja menabrak beberapa orang di sana. Melihat Giselle yang ingin berbelok ke suatu tempat ramai, Haechan mempercepat larinya.
Dan dalam sekali hentakan, Haechan berhasil mendapatkan tangan itu. Napasnya memburu, tatapan matanya tajam, serta cengkraman pada pergelangan tangan Giselle mengerat.
"Ikut aku."
Giselle beberapa kali meronta saat Haechan menyeretnya entah kemana. Ini semua sungguh di luar kendalinya. Mengapa mereka harus bertemu lagi setelah sekian lama? Mengapa rasa berdebarnya masih sama? Dan mengapa takdir selalu mempermainkan mereka?
Sedangkan Haechan terus melangkah ke depan, tidak memperdulikan sama sekali Giselle yang meronta-ronta ingin di lepaskan.
Haechan hanya ingin semuanya jelas. Dirinya hanya ingin mendengar semua penjelasan Giselle tentang mengapa dia memilih pergi tanpa meninggalkan jejak sedikitpun dan membiarkannya menderita bertahun-tahun.
"Haechan sakit ...."
Mendengarnya Haechan berhenti, lalu dengan segera membalik tubuhnya. Matanya bergulir ke arah cengkraman tangannya pada pergelangan tangan Giselle, terdapat warna merah yang semu di sana, mengartikan bahwa dirinya terlalu erat.
Alih-alih melepaskan, Haechan hanya mengendurnya saja, kemudian dengan gerakan halus mengelusnya. "Maaf, aku tidak sadar," lirihnya.
Sementara Giselle hanya diam. Entah mengapa saat melihat perlakuan Haechan saat ini, dirinya ingin sekali menangis.
Mata dua insan itu akhirnya bertemu, saling mendalami satu sama lain. Dan yang membuat Giselle bingung adalah, saat dia menatap mata tajam Haechan dirinya melihat kehampaan dan rasa putus asa yang dalam. Sebenarnya, ada apa dengan pria di hadapannya ini?
"Kau kemana saja, hm? Menurutmu bagus pergi tanpa memberitahuku sama sekali?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, tak ada yang bisa Giselle lakukan selain bungkam.
"Aeri, kau tahu selama dua minggu setelah konfirmasi itu keluar, aku selalu mencari kabar tentangmu, aku selalu bertanya-tanya apa yang tengah kau lakukan, apa kau sudah makan, apa kau menangis lagi atau tidak. Semuanya." Napas Haechan tercekat, tapi dia harus mengatakannya.
"Tidak ada satu orangpun yang membantuku. Awalnya aku pikir mereka membiarkan aku mencari tahu sendiri agar aku bertanggung jawab, tapi saat aku tahu semuanya, aku merasa menjadi orang yang paling menyedihkan." Haechan terkekeh, entah sadar atau tidak, dirinya sudah meneteskan air mata.
Giselle tersentak kaget, baru kali ini dia melihat Haechan menangis. Dan itu karena ... dirinya.
"Kau tahu, aku sangat tersiksa. Bahkan setelah tahu kau pergipun aku tetap mencarimu. Berharap aku mendapat barang secuil informasi, hanya untuk memastikan kau baik-baik saja dan hidup bahagia. Namun lagi-lagi, aku tidak mendapat apa-apa selain rasa kecewa."
Tangan Giselle terulur, mengusap air mata Haechan yang semakin deras mengucur, mengabaikan dirinya yang telah ikut menangis bersama pria itu.
"Maaf, maafkan aku." Giselle terisak, perasaan bersalah muncul dan memukul telak batinnya.
"Aku sungguh minta maaf, Haechan." Tangis Giselle kini semakin kencang, beruntung saat ini keduanya sedang berada di sebuah jalan kecil yang sepi.
Untuk kedua kalinya setelah malam itu, Haechan kembali membiarkan Giselle menangis di dadanya. Pria yang kini telah berusia 26 tahun itu memeluk Giselle se-erat yang dia bisa, turut menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher sang gadis.
"Aku mencintaimu, setelah bertahun-tahun terlewati pun aku tetap mencintaimu." Haechan mengisak, dia tidak memperdulikan bahwa malam ini dia akan menyanyi, yang mungkin saja karena menangis suaranya akan serak nanti.
Giselle menggeleng, membalas pelukan Haechan sama eratnya. Pengakuan cinta itu, terdengar menyakitkan.
"Aku cinta padamu, Aeri Uchinaga, sangat-sangat mencintaimu." Lagi, Haechan mengulangi. Berharap bahwa ungkapan cinta tulusnya sampai dengan baik pada gadis dalam pelukannya. Dia hanya ingin Giselle tahu, bahwa dia mencintainya sebesar dan sedalam itu.
Dengan susah payah Giselle membuat jarak yang tak berarti, mendongak hanya untuk melihat mata Haechan yang memerah.
"Tapi kau milik Ryujin, aku——"
"Aku dan Ryujin telah usai, tepat setelah kau pergi."
"Haechan ...."
"Dengar Aeri, aku mungkin terdengar seperti laki-laki brengsek, tapi aku tidak peduli. Aku mencintaimu sejak saat itu, saat di mana aku memelukmu dan melihat betapa kuat dan rapuhnya dirimu. Kau sudah membuatku jatuh sejak lama, hanya saja aku baru menyadarinya setelah kau pergi. Dan ya, itu benar-benar menyakitkan."
Giselle kembali menangis, dia sudah tidak bisa berkata apa-apa selain menangis sekarang. Penderitaan itu, dia juga merasakannya. Giselle juga merasakan rasanya merindukan, rasanya mencintai dengan diam.
Haechan kembali merenggangkan pelukannya, menatap Giselle yang masih sesegukan. Tangannya terangkat, menyingkirkan helai rambut yang menempel di pipi gadis itu. Haechan tersenyum tipis.
Giselle sudah menjadi wanita dewasa sekarang. Tidak ada yang berubah, gadisnya ini masih menggemaskan seperti dulu, masih sangat cantik seperti dulu.
Untuk itu, wajahnya mendekat, menghapus jarak yang ada, sampai pada akhirnya kedua ranum itu bertemu.
Untuk beberapa saat Haechan hanya mendiamkannya, matanya yang sayu menatap langsung mata Giselle yang membola lucu. Hingga saat mata yang sejak tadi dia tatap itu menutup, Haechan baru berani bergerak.
Ciuman itu lembut, penuh perasaan dan kehati-hatian. Haechan turut memejamkan mata, menikmati apa yang tengah dia lakukan kini.
Setelah beberapa saat, ciuman itu terlepas. Membiarkan keduanya mengisi udara pada paru-paru mereka yang kosong.
Napas Giselle tersengal, Haechan menciumnya cukup lama. Dan yang dia rasakan kini adalah, wajahnya panas sampai leher, Giselle yakin wajahnya merah padam sekarang.
Melihat itu, Haechan terkekeh gemas. "Kau menggemaskan," ucapnya.
"Kau menyebalkan, itu ciuman pertamaku tahu," ujar Giselle sebal, bibirnya mencebik membuat Haechan tergelak.
"Tapi kau menikmatinya, kan?"
"Diam!"
"Ahhh, kau benar-benar menggemaskan." Haechan kembali memeluknya, menggoyangkan pelukan itu ke kanan dan kiri.
"Kau tidak ingin bertanya jawabanku?"
Dengan senyum merekah, mata Haechan terpejam. "Tidak, karena aku sudah tahu."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Giselle heran, membuat Haechan lagi-lagi terkekeh. Untuk sebentar, Giselle bingung. Laki-laki ini, tadi menangis dengan pilu, dan sekarang dengan mudahnya dia tertawa seperti itu.
"Karena ini." Wajah Haechan kembali maju, mengecup bibir Giselle gemas.
"Lee Haechan!"
Haechan tergelak keras, kembali menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Giselle. "Setelah ini, aku tidak akan membiarkan kau pergi lagi, tidak akan. Because your mine."
***
Halo, apa kabar? BONUS CHAPTER YGY AHAHA.
Maaf kalo gak sesuai ekspektasi, ya.
Dan iya, mau 1 lagi, nggak?
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Rumor!
FanfictionSUDAH TERBIT! Buku tersedia di shoppe! Seorang idol memang tidak akan lepas dari yang namanya rumor. Tapi, bagaimana dengan Giselle yang harus mengorbankan diri untuk menutupi rumor orang lain? Terlebih, rumor tersebut adalah rumor dari seniornya se...