Chapter 4

513 56 16
                                    

Kulihat air yang membasahi dari kepala, bahu, lengan. Jemariku gemetar merasakan alirannya jatuh dari tubuhku. Kurasakan sarang burung yang mirip agar-agar itu menempel di wajahku. Sedangkan ia di hadapanku masih dengan ekspresi dingin. Leherku terasa kaku, takut menyadari tatapan sekitar. Karena itu sekalipun ia tampak menyeramkan, aku lebih memilih menghadapi ia. Karena aku tahu, jauh di dalam dirinya, ia masih Bang Exon.

Kulap gemetar sarang burung di pipiku. Aku berusaha, tapi bibirku hanya bisa tersenyum kaku. "Abang...." Suaraku tercekat di kerongkongan.

Tidak. Tidak boleh seperti ini! Kalau begini usaha Mama akan sia-sia. Bang Exon juga bisa menambah jarak. Papa tidak akan bangga padaku. Keluarga kami akan terpecah selamanya. 'Tenang, She. Lu juga nyiram dia pake kopi panas. Ini impas kok. Minimalnya minuman kaleng ini gak bikin kulit lu terbakar.'

Bibirku sekali lagi menarik senyum. Berusaha cengengesan. "Bang Exon emang perhatian banget, ya? Tau aja lagi panas. Seger deh sekarang!" ujarku dengan suara yang kuusahakan seceria mungkin. Karena aku tahu semua mata sedang tertuju pada kami.

Tanganku mendingin di cuaca yang begitu terik. "Abang juga harus basah nih! Biar ikutan seger!" ujarku langsung memeluknya. Tak tahu lagi mau kemana wajahku kusembunyikan.

"Anjing! Basah!" umpatnya berusaha melepas pelukanku.

"Abang kan sayang Shea! Jadi harus ikutan basah!" kukuhku.

Ia dengan panik melepas pelukanku. Aku sudah jelas kalah tenaga hingga ia berhasil lepas. Tapi tak pernah kukatakan aku tak akan kembali menyerang. Ia mundur menjauhiku. Kudekati ia sampai ia panik dengan usahaku sedekat mungkin dengannya.

"Mundur gak lu! Mundur!" usirnya.

Kuberi ia gelengan ringan. Langsung menerjang ke tempatnya hingga ia berlari menyelamatkan diri.

"Baaaang!" seruku mengejarnya sambil tertawa. Ia kesulitan berlari di tempat yang penuh dengan properti untung syuting tersebut. Memudahkanku mengejarnya.

Kulompatkan diriku padanya saat kurasa jarak di antara kami sudah memungkinkanku menangkapnya.

"Anjing! Lepas!"

"Gak. Gak mauuuu~ Meluk Abang kan enak," jawabku santai. Ia di atas tanah menggepar-gepar melepasku. Pergulatan itu semakin ekstrim hingga ia menjatuhkanku yang sebelumnya di atasnya. Tapi lengan dan kakiku tak ingin berkenalan dengan rasa malu. Kupeluk ia sekalipun aku jadi menggantung di tubuhnya.

"She! Abang gak suka kayak gini! Baju Abang kotor!" bentaknya. Namun setelahnya terdiam. Sepertinya baru sadar kata sebut yang ia ucapkan.

Aku yang mendengarnya pun terpana sedetik. Lalu menarik senyum penuh kemenangan. Sedangkan ia tampak gelagapan karena melakukan pengakuan yang mungkin tak akan disadari siapapun. Namun ia sendiri tahu apa artinya itu. Dia kalah dalam pertarungan sok cuek ini. Dia masih menganggap dirinya sebagai abangku.

Ia masih membeku oleh kata-katanya sesaat lalu. "I love you, you know?" ucapku tulus. Menatap rindu pada mata secerah langit yang dulu selalu memberiku tatapan lembut. Kubelai pipinya, memperhatikan baik-baik wajahnya yang sangat kurindukan, walau telah sangat berbeda dengan yang dulu. Tapi mungkin justru perubahan tahap demi tahap yang tak kulihat itu yang membuatku semakin merindukannya. Menginginkannya di sisiku. "And I'll make sure one day, once again, you'll love me back," sumpahku.

"She!" Kudengar suara Dion menghampiriku. "Ganti baju yuk? Baju lu dah kotor. Jam istirahat udah mau kelar. Harus masuk take selanjutnya."

Kulepas pelukan kaki dan tanganku. Bang Exon pun langsung bangkit, pergi ke tempat lain untuk menyelamatkan gengsinya.

Act It Out!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang