Sepanjang Tamara belanja kebutuhan mingguan dapurnya, ia berakhir tersenyum geli mendengar suara putrinya yang keluar dari earbuds. Perkara sepele sebenarnya. Shea mengeluhkan makan siangnya yang memiliki menu sama untuk 3 hari terakhir.
Tamara sudah mengerti garis besarnya. Tapi Shea memang suka mengoceh. Detail makan siangnya dikeluhkan secara merinci, dari tekstur, tingkat kelembapan, hingga after taste. Yang paling parah adalah bahkan Shea mulai melantur ia mengalami trauma psikologis oleh menu itu, yang mana sudah dibuat-buat ceritanya.
"Mama masak apa ntar buat dedek?" tanya Shea. Nada bicaranya manjaaaaa sekali.
Tapi Tamara tak masalah sekalipun Shea kekanakan selamanya. Di masa lalu ia hampir kehilangan putrinya, dan sudah lebih dari 10 tahun kehilangan putra. Apapun kemanjaan Shea membuatnya merasa lebih menjadi ibu. Dan ia suka itu, ia merasa bangga ia telah menjadi ibu yang membuat Shea nyaman untuk berceloteh apapun.
Lagi pula sifat manja Shea bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Shea tahu kepada siapa saja ia boleh manja. Mungkin hanya pada Tamara dan Dion. Shea remaja yang normal-normal saja ketika di luar rumah. Sudah sering Tamara takut-takuti tentang lelaki juga, hingga tak ada kemungkinan Shea manja pada lelaki asing, yang mungkin akan membuatnya berakhir terjerumus.
"Maunya apa, Sayang?" balik Tamara pula. Beberapa orang yang berbelanja di super market yang sama dengannya meliriknya sesekali, baru mengalihkan pandangan saat sadar ia sedang berbicara lewat telfon.
"Terserah"
Tamara hanya terkekeh geli. Mungkin itu sindrom yang biasa dialami gadis remaja. Sayang sekali Shea tak punya kekasih untuk ia mengutarakan itu. Akhirnya yang kena imbasnya kalau tidak Tamara dan Lulu, yah Dion.
"Kok Mama ketawa?" tanya Shea merasa dilecehkan.
"Nggak ada. Suara Shea lucu, Mama suka," kilah Tamara.
"Ih, Mama. Kan Shea jadi malu~" balasnya sok tidak pede. Padahal Tamara tahu putrinya itu pasti sedang memasang ekspresi bangga berlebihan akan dirinya sendiri.
"Semoga lancar ya nak kerjanya."
"Aaamiiin. Mamah hati-hati pulangnya. Dadah Mamah. Muach." Panggilan itu baru berakhir saat Tamara membalas ciuman virtualnya.
Tamara menggesek kartu debitnya daat membayar belanjaan. Kemudian berjalan ke lobi untuk pulang dengan taksi online yang ia pesan. Namun sayangnya seorang anak kecil berlari dan menubruk cotton bag-nya yang terisi penuh hingga isinya sebagian jatuh menggelinding.
'Sabar, Tam' sugestinya pada diri sendiri. Hampir-hampir mengumpat di dalam hati. Ia benci orang tua yang tak bisa mengendalikan anaknya. Shea sejak kecil bisa jungkir balik, guling-guling, kayang segala macam di rumah. Tapi di tempat umum, dengan satu teguran mata putrinya itu pasti langsung mengerti.
Tamara punguti belanjaannya yang berjatuhan. Dilihat-lihat orang? Pastinya. Tamara melihat-lihat lagi sekitarnya untuk mengecek apa ada lagi barangnya yang tergelinding cukup jauh.
Saat matanya melihat sebuah tabung berisi buah lengkeng kalengan miliknya, ia lihat sebuah tangan yang memungutnya. Mata Tamara mengikuti tangan tersebut naik, sampai ia melihat wajah orang tersebut. Pandangan mereka bertemu detik itu juga.
Tamara dengan cepat membalik tubuhnya. Ia tidak mau berurusan lagi dengan orang itu hanya karena buah kalengan.
Tamara dengan gelisah menatap smartphone-nya. Melihat sudah sampai mana driver-nya. Sekalipun dugaannya mengatakan orang itu mustahil menghampirinya, tetap saja ia tidak tenang.
Ketidak tenangan itu dikabulkan oleh suara di balik punggung Tamara. Kata-kata yang tersusun oleh vocal-nya membawa nostalgia. Namun nada suaranya begitu dingin, seolah pengungkapan gamblang, bahwa kata-kata itu diucapkan sebagai sindiran masa lampau.
![](https://img.wattpad.com/cover/298574093-288-k378203.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Act It Out!!
Romance"Never let go." Itulah janji Exon dan Shea yang memiliki latar perdebatan memekakkan telinga dari kedua orang tua dari luar ruangan. Shea mengangguk sambil memegang gemetar tangan Exon yang menutup telinganya agar ia tak mendengar terlalu banyak. Na...