Chapter 20

508 46 12
                                    

Kalau ada pelajaran yang bisa dipetik dari pernikahan orang tuanya, Dion punya 2 hal yang sangat ia hindari :

Ia tidak ingin menikah dengan orang seperti ayahnya yang merasa selingkuh itu normal karena hampir semua orang yang seprofesi dengannya melakukan itu. Dan itu harus dimaklumi karena adanya jarak dengan pasangan sah.

Dion juga tak akan menikahi orang seperti mamanya yang mengutamakan gengsi hingga bertahan di pernikahan yang membuatnya tersiksa lalu melampiaskan kekecewaannya pada semua orang di sekitarnya. Dan semua orang harus terima sifat buruknya karena ia telah tersakiti.

Harta bisa habis. Keindahan fisik bisa hilang. Ketaan pada Tuhan hanya si hamba dan Sang Pencipta yang tahu. Humor? Dion bukan orang yang peduli pada celotehan.

Mungkin sangat tepat mengatakan nilai dari kepribadiannya. Tapi itu sangat tricky. Hampir semua orang bersikap baik pada awalnya.

Karena memang itu kesan yang ingin diberikan.

Sangat mudah bersikap baik dalam waktu sekejap. Dion yang terbiasa berucap tajam ini pun bisa baik dalam satu waktu. Tapi yang dibutuhkan dalam hubungan bukanlah kebaikan tiada tara sampai menembus langit yang hanya terjadi sekali ataupun beberapa kali.

Yang penting adalah konsistensi. Tapi Dion tak bisa memastikan kebaikan seseorang itu memang kepribadiannya atau kebaikan karena upaya untuk memiliki. Karena itu ia berhenti berusaha menilai pasangannya nanti dari kepribadiannya.

Pola pikir. Dion memutuskan itu yang akan menjadi acuannya. Sangat mudah menyembunyikan sifat buruk. Tapi cukup sulit menyembunyikan pola pikir, karena itu pondasi hidup seseorang. Tentu saja Dion tak akan tembak langsung yang bisa diberi jawaban bohong. Ia belajar banyak hal dari HRD di kantornya.

Pola pikir itu soal prinsip. Bisa membawanya ke kesimpulan apa saja. Atas dasar apa orang itu bekerja, atas dasar apa ia beribadah, atas dasar apa ia merawat diri, atas dasar apa ia memperlakukan orang. Kelakuan ayah dan mamanya itu pun adalah perwujudan pola pikir. Karena itu kalau prinsip hidup mereka cocok, Dion tak masalah menikahi wanita manapun.

Dion mencengkram pinggir meja menahan dorongan dari partner-nya. Keras dan tanpa ampun.

Dion tersenyum sinis dalam persetubuhan itu. Orang-orang pikir memangnya kenapa ia tidak memilih pria saja sedangkan ia bersenang-senang tanpa batas seperti ini?

Ya pertanyaan itu sendiri sudah merupakan jawaban.

Ia melakukan ini untuk kesenangan semata.

Sedangkan di pernikahannya ia ingin berbagi segala hal. Suka dan duka. Dion tahu bagaimana busuknya tiap partner seks-nya. Gabungan pola pikirnya dan orang-orang itu tak akan mampu untuk membentuk sebuah keluarga. Tak ada alasan ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan mereka.

Itu kehancuran. Malapetaka malah.

Smartphone-nya berdering di samping tangannya. Kontak tak dikenal tampak di sana.

"Wait. Wait. Stop," cegahnya melepas kuasa pria itu di pinggangnya.

"Oh! C'mon, Di! Ini bentar lagi keluar," decaknya frustasi.

"Ini hp gue buat kerja yang bunyi. Yang nelfon bisa jadi orang brand yang udah deal-deal an sama Shea."

Dion langsung mengambil jarak. Sudah kewajibannya sebagai manajer untuk selalu stand by 24 jam. Dan Dion punya dedikasi yang tinggi pada pekerjaannya.

"Imma get a blue ball, sweety," bujuknya.

"Diem. Gue lagi nelfon. Ya halo?" Baru satu detik panggilan itu berlangsung, Dion langsung menyudahinya.

Act It Out!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang