Chapter 30

492 36 147
                                    

Baru-baru ini kayaknya ada pembaca baru. Komenannya kayak antusias. Bikin mood buat nulis. Mwehehe.

Btw, belakangan aku beberapa kali baca orang minta akhirnya sama si ini atau si itu. Seingatku aku dah pernah bocorin deh ini akhirnya couple mana yang berlabuh. Apa karena pembaca baru ya makanya ketinggalan spoiler? Wahahaha. Biarkan aja. Jangan ada yang bocorin. Lucu soalnya.

Shea menangis bukanlah hal yang menyentuh hati Dion. Shea tahu itu. Pria itu telah melihatnya menangis berkali-kali, dan Dion bisa santai saja mengunyah gorengan.

Shea dulu benci itu. Karena pria itu terlihat tidak peduli. Shea merasa perasaan sedihnya sedang diolok-olok. Shea merasa kesedihannya tak dianggap valid. Dan itu membuatnya lebih sedih lagi.

Suatu kesempatan, Shea benar-benar kesal. Dion cekikikan menonton film sedangkan Shea sedang berderai air mata menceritakan kerisauannya. Tahu apa yang Shea lakukan? Ia melempar kepala pria itu dengan ponsel dan sepatu.

Saat itu Shea sudah siap untuk perang habis-habisan dengan Dion. Ia tahu Dion bukan orang yang terima begitu saja perlakuan seperti itu. Tapi Dion hanya menoleh padanya dan berkata, "Oh? Udah kelar nangisnya?"

Ia memaki-maki pria itu sepuas hatinya. Dion tak menyela sama sekali. Dan setelah tenaga Shea habis karena emosi yang meledak-ledak, barulah Dion menanggapinya.

"Gue bukan gak peduli sama lu. Tapi harus ada dua sisi yang buat sesuatu seimbang. Nyokap lu dan Lulu udah ngasih lu kenyamanan tiap kali lu sedih. Jadi gue cuma ngisi sisi lainnya yang kosong."

Dion bilang ia tahu orang yang sedih butuh tempat untuk berkeluh kesah, yang akan memberi tahunya normal untuk merasa begitu, dan ia pantas bereaksi sedih atas masalahnya. Orang yang memberinya kenyamanan untuk merasa demikian.

Tapi kata Dion kalau semua orang memberinya kenyamanan dalam kesedihan itu, Shea mungkin malah menjadi nyaman terus merasa sedih. Karena obrolan penuh pengertian itu menjadi media interaksi Shea dengan orang di sekitarnya. Shea bisa jadi merasa kesedihan adalah alat penghubung ia dengan orang sekitarnya. Diberi perhatian lebih ketika bersedih bisa membuat orang menetap di kesedihan itu, karena berpikir itu cara agar ia terus diperhatikan.

Perasaan dan logika dibutuhkan dalam menjalani hidup ini. Orang yang hanya menggunakan perasaan tak akan maju. Orang yang hanya menggunakan logika akan hancur tepat setelah ia mencapai tujuannya.

Mama Shea dan Lulu telah memanjakan perasaan Shea. Dion bertugas membimbingnya ke logika dan sadar "Hell, berlarut-larut dalam perasaan itu tolol banget."

Tamara dan Lulu memberikan warm love. Dion memberinya tough love.

Bukan ia tak sayang Shea. Itu hanya jenis kasih sayang berbeda.

Dan memang hasil yang didapatkan dari gabungan 2 jenis cinta itu yang membuat Shea bisa sampai di titik ini. Ia tak lagi benci sikap acuh Dion ataupun paksaan untuk bangkit dari kesedihan. Dipaksa oleh Dion adalah makanan sehari-harinya.

Karena selama perjalanan karirnya, Shea berulang kali berpikir tidak sanggup, ia sudah menangis tersedu-sedu, ini sudah batas kemampuannya. Tapi Dion tak peduli tuh, ia tetap seenak jidat membuat jadwal yang padat untuk Shea dan menerima pekerjaan yang bahkan terkadang tak ia tanyakan dulu pada Shea.

Batas kemampuan. Entah berapa kali Shea mengira begitu. Tapi Dion selalu menyeretnya melebihi batas itu. Hingga Shea sadar kemampuannya belum limit. Ia masih bisa lagi. Batas itu terus bergeser hingga tak terhingga.

Shea jadi terbiasa dengan sifat pemaksa pria itu. Sampai ia tidak menganggap itu masalah.

Mungkin karena itulah ketika Dion menariknya paksa, Shea jadi.....

Act It Out!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang