Shea pernah dengar orang bilang kata-kata paling menyedihkan di seluruh dunia adalah hampir.
Hampir menjadi orang yang tepat untuknya.
Hampir menjadi pasangan.
Hampir bahagia.
Hampir jatuh cinta.
Hanya.....hampir.
Tapi lucunya bagi Shea mungkin hampir adalah kata-kata yang paling melegakan saat ini.
Andai saja semuanya hanya hampir.
Shea menarik lengan yang merengkuhnya. Membuat pelukan itu mengerat. Sedangkan ia termenung memandang dinding kaca, memperlihatkan bintang-bintang dan cahaya dari padatnya peradaban dunia. Tapi ia hanya berdua dengan Exon. Salah, tapi terasa tepat.
Mereka tak mengucapkan apapun sepanjang malam. Tak ingin mempersuasi satu sama lain. Karena maju atau mundur dalam hubungan ini akan tetap menyakiti. Exon hanya duduk selonjoran di lantai. Sedangkan Shea tidur menyamping dengan menjadikan pria itu alas tidurnya. Sambil kepalanya bersandar pada dada pria itu.
Gelap.Tapi mereka tak butuh cahaya untuk membimbing. Ingin terjebak di tempat ini saja.
Biar debaran saja yang menuntun. Mungkin menuju kesesatan tak berujung. Tapi siapa peduli?
Shea bisa terus berkata ia tak peduli, seandainya ia tak menyadari ratusan ribu "Shea" sedang menatap ke arahnya. Memenuhi dinding. Sebagian lagi ditumpuk di lantai sampai menjadi tower kertas.
Exon terlihat tidak ingin menjelaskan apapun. Seolah ingin anggap saja semua ini tidak ada setelah malam ini usai. Hanya menganggap ini hanya salah satu kejadian ia memberi kenyamanan bagi cintanya. Dan setelahnya tak perlu diusir, Exon siap sedia untuk pergi.
Tapi Shea tahu ini bukan sesuatu yang bisa ia katakan biarkan saja berlalu. Ini hal serius yang membutuhkan jawaban. Tidak mungkin hal yang berlangsung selama 17, -mungkin 18 tahun terhitung saat ia masih di kandungan-, bisa dikatakan bukan hal serius.
Tubuhnya bergerak berganti posisi menjadi tengkurap. Menjadi memeluk pria itu. Tapi kali ini mendongak pada Exon yang duduk bersandar.
Shea coba melihat matanya baik-baik. Mata yang sewarna langit. Biru mengesankan ketika terkena cahaya, tapi hitam kelam ketika berada di kegelapan. Exon balas menatapnya, hingga kata-kata yang telah Shea susun di kepalanya buyar begitu saja. Tapi sekalipun mengalihkan pandangan, yang ia lihat adalah buah pemikiran Exon yang berbentuk seorang Shea.
Shea lepas salah satu gambar di samping Exon. Shea tahu ia tak pernah punya wajah seperti itu, sekalipun itu memang mirip dengannya. Itu Shea yang ada di angan Exon. "Shea" yang ia ciptakan untuk mengisi hari-harinya saat di Newport.
Shea menggeleng saat melihat gambar itu. Ia ingin menyangkalnya. Tapi sudah tidak mungkin lagi.
Ia tarik nafas panjang. Kembali memunguti kata-kata yang telah bercecer di kepalanya. Ia tangkup rahang pria itu. Membelai pipinya dengan lembut.
"You love her, right?" tanya Shea. Meletakkan kertas itu di dada Exon. "This is her word"
Ia tatap mata Exon baik-baik. "It's enough. Stop it. Let her go. From now on, live your life. Be happy."
Exon mengangguk patuh. Tak membantahnya sama sekali. Tangannya mengulur, mencabut satu kertas. Lalu satu lagi. Satu lagi. Satu lagi. Hingga semua yang di sekitarnya habis.
Shea menangis sesenggukan. Ia tahu ia menghancurkan Exon. Tapi ini harus mereka lakukan demi kebaikan bersama. Mereka tidak akan pernah menjadi mungkin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Act It Out!!
Romance"Never let go." Itulah janji Exon dan Shea yang memiliki latar perdebatan memekakkan telinga dari kedua orang tua dari luar ruangan. Shea mengangguk sambil memegang gemetar tangan Exon yang menutup telinganya agar ia tak mendengar terlalu banyak. Na...