Chapter 27 Part 1

394 31 2
                                    

Typo bertebaran


Lulu berjalan malas ke pintu depan rumahnya ketika pintu depan rumahnya diketuk. Namun langsung berubah ekspresi saat melihat temannya yang basah kuyup oleh hujan disertai wajah pucat.

Belum sempat Lulu mengatakan apa-apa, Shea langsung memeluk erat dirinya. Ia dengar isak tangis yang diselingi ucapan maaf berkali-kali.

Lulu tak mengatakan apa-apa. Hanya ia tepuk-tepuk pundak Shea lalu menuntunnya masuk ke dalam rumah. Ia beri handuk, ia persilahkan mandi, dan memberinya baju ganti. Lalu ia bawakan sup yang baru dimasak ibunya.

Setelahnya kembali hanya ada tangis Shea dan ia memeluk temannya. Saat Lulu kira Shea sudah tidur karena kelelahan menangis, justru ia dengar suara parau Shea.

"Dia nyakitin gue." Untuk sedetik Lulu belum bisa menebak siapa yang dimaksudkan oleh Shea. "Lu bener, dia gak baik. Dia cuma mau lecehin gue." Lulu pun langsung paham. Wajah Shea semakin tertekuk, suara pun semakin mencicit. "Dion juga bener." Dan ia bertengkar dengan kedua sahabatnya hanya untuk membela orang seperti itu.

Lulu tak membalas apa-apa. Ingin memberi kata-kata penghibur, tapi ia rasa Shea memang harus sadar tindakannya sudah salah selama ini. Mau diberi nasehat, apa nasehat yang bisa diberi atas hal yang sudah terjadi? Shea sendiri pun tahu, sudah merasakan sendiri, Lulu tak perlu memberi tahunya. Memberi nasehat pada orang yang sudah tahu itu sama saja dengan menyudutkan.

Shea menoleh pada Lulu. Tak perlu diucapkan pun ia tahu apa yang ada di benak Lulu. Lulu sudah sering mengatakannya. "Manusia itu ibarat tembok. Punya warna masing-masing. Dan tembok itu milik pribadi."

Kalau orang lain datang menghampiri dan memaksa tembok itu berubah ke warna lain, bisa? Bisa. Tapi yang punya tembok akan marah. Atau ia tak marah, tapi tanpa kata akan mengembalikannya ke warna semula, atau ke warna lain. Karena itu adalah tembok miliknya pribadi. Begitu pula sifat orang. Orang lain hanya bisa mengubah sifat itu untuk sementara waktu. Tapi yang pemilik kepribadian itu yang akhirnya akan memutuskan ia ingin sifat yang bagaimana. Kalau tak sesuai dengan keinginan orang, yah itu bukan salah si pemilik sifat. Itu salah orang yang berpikir bisa mengubahnya, padahal itu bukan haknya. Kita gak bisa ngubah cat semua rumah yang kita lihat hanya karena itu bukan warna yang kita suka. Kalau gak sesuai sama selera, yah belok, pergi, lihat rumah-rumah lain yang sesuai sama kita.

"Lu pasti mikir gue bego banget ya? Halu," ujar Shea tercekat. Tapi Shea sungguh tak pernah berpikir ia sedang berusaha mengubah Exon. Ia juga tahu manusia bukanlah hal yang bisa ia ubah begitu saja semaunya. Ia kira ia hanya ingin mengembalikan Exon ke jati dirinya. Dan ia kira itu tidak sulit. Ia lupa bahwa justru ia lah yang tidak tahu jati diri Exon.

"She-"

"I know. It's ridiculous." Ia terkekeh bersamaan dengan air matanya mengalir lagi. "Red flag dimana-mana. Tapi gue sok-sok ngeles. Itu burgundy, scarlett, dan lain-lain. Atau sekalipun gue akuin itu merah, gue bilang itu bukan tanda bahaya, tapi lagi pesta pora parade."

"Dia nyium gue, gue bilang itu karena dia sayang sama gue. Dia bilang sayang ke gue, gue pikir itu bener. Sampe dia buka baju gue pun gue masih bersikukuh bilang ke diri gue itu normal, gak ada yang aneh, sekalipun itu udah bertentangan sama hati gue. Gue gak pengen kritik dia. Gue gak pengen mojokin tindakan dia. Gue gak pengen bikin dia ngerasa lagi ngelakuin hal gak normal dan aneh, kayak orang ngatain disleksianya menjijikkan. Gue gak pengen bilang dia salah, sampe gue harus bego-begoin diri gue sendiri. Tapi ini yang gue dapet. Dia cuma nganggep gue objek seks."

"Gue wujudin ucapan orang-orang selama ini. Buah jatuh gak jauh dari pohonnya. Gue beneran jadi kayak nyokap gue. Gue pelacur, Lu," ungkapnya, kali ini kembali terisak-isak

Act It Out!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang