Chapter 11

394 49 32
                                    

"Abang khawatir ya?"

Dari jemari yang saling menaut tersebut terasa hangat. Kehangatan yang sama dengan abangnya 10 tahun lalu.

Abang. Bang Exon. Orang yang paling memanjakan Shea, sampai orang tua mereka khawatir sifat Shea akan sangat buruk karena Exon menuruti semua permintaannya. Orang yang ketika pulang sekolah lebih mengutamakan memberi Shea cemilan dan cium, barulah menyalam tangan kedua orang tuanya. Abang yang hampir selalu menempatkannya dalam gendongan, hingga Mamanya cemas Shea akan mengalami gangguan berjalan karena terlampau sering tidak menggunakan kakinya sendiri. Bahkan barang Shea yang paling awet selalu sepatu dan sendal karena hampir tak pernah dipakai menapak.

Bang Exon itu jelas dan simpel. Shea terbiasa dengan itu. Itulah alasan yang membuatnya merasa sikap dingin Exon sekarang juga sebuah kejujuran. Tapi Shea juga tak ingin mempercayai hal itu. Karena itu, kalau ada sedikiiiit saja kemungkinan Exon hanya gengsi, Shea ingin mengusahakannya.

Secara garis besar sih, nyaris tak ada tanda-tanda Exon suka dengan keberadaannya. Tapi genggaman mereka tidak berubah sampai detik ini. Exon tidak menghempas tangannya.

"Bang" panggilnya lagi. Ingin meminta kepastian. Bagi orang mungkin ia gadis yang bodoh mengemis-ngemis seperti ini. Memalukan? Ya.

Tapi dulu pun Exon melakukan hal yang sama. Sekalipun Shea yang salah, Exon yang datang meminta maaf. Bahkan sering sekalian dengan sogokan. Sudah begitu pun Shea masih bisa ngambek dan membiarkan Exon memohon-mohon. Baru Shea maafkan kalau ia sudah mood.

"Abang gak mau lihat ke sini?" tanya Shea pada Exon yang masih buang muka. Membuat Shea dirundung bimbang. Kalau benci, yah lanjutkan saja sikap tidak peduli itu. Jangan tiba-tiba mengkhawatirkannya main di klub malam. Jangan membuatnya bingung. Karena ia semurahan itu kalau untuk Exon. Exon berbuat baik sedikit saja ia sudah langsung ingin berada di sisi Exon.

Shea menatap sendu pria yang entah masih bisa disebut abangnya yang dulu atau tidak. Dikatakan sama, tidak benar-benar sama. Dibilang berbeda, juga tidak.

Shea lihat Exon, lalu pada dirinya. 10 tahun itu waktu yang panjang. Mereka telah banyak berubah. Shea yang dulunya hanya sebatas perut Exon, kini telah tumbuh besar. Ia tidak menggemaskan lagi. Wajar kalau sulit bagi Exon merasa mereka orang yang sama. Apalagi luluh pada Shea semudah pada adik kecilnya dulu.

"Do you still love me?"

Hanya hening yang ada, sedangkan genggaman Shea mengerat. Ia hela nafas berat. Membawa tangan pria itu ke sisinya.

Shea hanya butuh 1 alasan. Sayang. Seburuk apapun sikap Exon, kalau semua itu hanya untuk menutupi perasaan sebenarnya, Shea akan bersabar menghadapinya. Ia akan menunggu sampai perasaan itu terungkapkan dengan jujur. Tapi kalau ternyata memang Exon jujur sejak awal, Shea takut terluka oleh kenyataan itu. Karena itu berikan ia kepastian.

"Kalau Abang diam aja, aku anggap jawabannya iya. Abang itu emang pengen aku perjuangin. Cuma Abang gengsi bilangnya," simpul Shea. Sekaligus pernyataan bersedia jika kini posisi mereka terbalik dengan yang lampau.

"Sepuluh" hitung Shea memulai. Memberi Exon waktu untuk menjawab secara gamblang. "Sembilan"

"Just give up. I hate you. Leave. Just like what you did." Harusnya itu yang terucap dari bibir Exon. Tapi sampai bilangan yang Shea ucapkan semakin kecil, bibir Exon tak jua bergerak.

"Nol" Shea menghela nafas lega. "Jadi beneran karena gengsi?" tanyanya terkekeh lega. Ia colek gemas pipi Exon. "Iya deh iya. Bakal aku bujuk deh sampe luluh," putusnya.

Shea kecup penuh sayang tangan dalam genggamannya. Sikap Exon berbeda dengan yang dulu? Tidak apa. Asalkan di dalam dirinya Exon masih abang yang menyayanginya, Shea sudah senang.

Act It Out!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang