Chapter 31

365 35 188
                                    

Kebanyakan anak benci sifat buruk orang tuanya. Namun sekalipun membenci, kebanyakan anak justru berakhir memiliki sifat yang sama dengan orang tuanya tanpa mereka sadari. Karena itu lah contoh yang ia lihat sehari-hari.

Oleh sebab itu Gareth tak heran kedua anaknya punya anger issue.

Secara general, Gareth tidak punya anger issue. Ia bisa berbicara tenang dan mendiskusikan masalah dengan kepala dingin. Hanya ada satu masalah yang membuat amarahnya tak terkendali. Dan sayangnya kenangan itu berbekas sangat dalam di ingatan Exon dan Shea hingga mereka berpikir emosi meledak-ledak dan membanting barang adalah reaksi yang tepat ketika marah.

Gareth tak bisa menyalahkan anaknya memiliki sifat itu. Ia rasa sebagian besar itu adalah kesalahannya karena telah memberi contoh yang buruk. Tapi bukan berarti itu sifat buruk yang harus dibiarkan begitu saja.

Apalagi memiliki anak dan anger issue bukanlah dua hal yang cocok untuk berjalan berdampingan.

Exon harus belajar mengolah emosi sejak sekarang. Tak lucu ketika menikah nanti ia kesal dan malah membanting bayinya.

Exon menerima usulan Papanya untuk menemui psikolog. Dan Papanya ikut bersamanya untuk memastikan ia benar-benar pergi.

"Siapa?" tanya Gareth ketika Exon menerima telfon di jam makan siang setelah mereka selesai konseling dengan psikolog.

"Om Barack," balas Exon ketika panggilannya telah ia tutup. "Fiona dah ketemu. Dia di Helsinki."

Satu nama itu membuat senyum Gareth mengembang lebar. "Jadi kapan dia bakal pulang?" tanyanya sumringah. Ia sudah tak sabar memiliki menantu dan menggendong cucu.

"Gak tau. Om Barack bilang Fiona gak mau pulang. Dia lagi usaha bujuk Fiona pulang."

Gareth meletakkan garpu dan pisaunya sambil berdecak. "Kamu pergi ke Helsinki. Jemput calon istri kamu."

Exon tak langsung menjawabnya. Pandangannya dibuang ke arah dinding kaca restaurant. "Pa, emang harus banget ya nikah sama Fiona?"

"Maksud kamu apa?" tanya Gareth tajam.

"Fiona gak mau nikah sama aku. Aku sama Fiona udah selesai. Gak ada cinta sama sekali," tutur Exon sungguh-sungguh.

"And that's my problem?" balas Gareth acuh. Exon sampai tercengang. "Kamu gak bilang gak cinta dia waktu kamu tidur bareng dia. Kamu gak bilang dia menjijikkan kan waktu klimaks bareng dia?" cemooh Gareth terang-terangan.

"Be mature, Xon. It's your baby. And I don't give a shit whether you love her or not."

Exon menghela nafas berat. "Pa, kalau masalahnya adalah anak, aku bisa co-parent bareng Fiona. Aku gak bakal nelantarkan anak aku. Fiona bahkan gak pengen punya anak bareng aku. Dia jijik kalau anak itu bakal sama kayak aku. Dia ngerasa anak disleksia bakal ngerepotin banget. Tapi aku udah biasa sama disleksia. Aku bakal ajarin dia cara bisa bersaing sama orang lain sekalipun dia punya kekurangan."

Penolakan dan begitu banyaknya alasan-alasan terdengar sangat mengganggu di telinga Gareth. Sekali lagi teringat adegan berciuman kedua anaknya. Dan sampai kapanpun ia tak akan tenang sebelum memastikan tak ada apapun di antara keduanya. Ia tak akan puas sampai keduanya benar-benar punya pasangan yang sah.

"Gak ada jaminan anak kamu bakal sama kayak kamu. Dan co-parent di Indonesia punya kemungkinan kecil buat sukses, apalagi kamu bukan cerai melainkan gak nikah. Gak bakal bisa anak kamu punya ayah. Orang bisa ledekin itu seumur hidup."

"Pa,-"

"Exon" tegur Gareth sebelum putranya menyulut emosinya. "Kamu bakal nikah sama dia. Dan gak ada kata cerai. Camkan itu," tegas Gareth.

Act It Out!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang