Chapter 17

912 46 29
                                    

Sebenarnya dari mana semua masalah ini berawal?

Sering Tamara memikirkan jawaban untuk pertanyaan itu setelah ia bercerai dari Gareth.

Sejak ia dengan ceroboh menikahi pria yang baru ia temui? Atau karena menikah tanpa membicarakan pondasi, prinsip, hak, dan kewajiban masing-masing? Sejak Gareth tak mendengarkan opininya tentang aborsi dan akhirnya memiliki anak yang tak pernah ia inginkan? Mungkin sejak ia terjebak narkotika karena stress?

Rasanya semua itu masuk akal. Tapi Tamara rasa bukan itu awal dari masalahnya. Semua itu keputusan tolol yang ia ambil setelah banyak hal yang menimpanya.

Jauh sebelum ia bertemu Gareth. Gabungan dari satu kejadian ke kejadian lainnya.  Hal-hal kecil yang tak ia ketahui akan berpengaruh besar pada hidupnya. Butterfly effect.

Sibuk memikirkan persoalan sebab-akibat tentang masalah yang ia lalui, akhirnya ia tiba di jalan buntu dimana tak ada lagi awal mula yang lebih jauh dari pada itu. Di kejadian singkat yang ia pikir tak memiliki resiko.

Sore yang tenang saat ia masih SD. Ia memanjat pohon mangga di halaman rumahnya. Melempar buah-buah yang ia petik pada adik-adiknya yang menunggu di bawah. Saat mendengar kode orang tua mereka sudah pulang, ia bergegas turun, karena di keluarganya perempuan tidak diperbolehkan memanjat. Tergesa-gesa membuatnya salah berpijak, tergelincir hingga menghantam bebatuan di bawah pohon yang sebagian tajam.

Tamara meraung kesakitan, jelas saja mereka ketahuan. Diomeli, pastinya. Tapi orang tuanya juga tetap menanyainya dimana yang sakit. Ia dengan jujur menjawab antara pahanya sakit karena ia jatuh dengan gaya split. Roknya disingkap, ibunya diam sedetik. Tamara menunduk dan melihat celana dalamnya terkena noda darah.

Tamara disuruh mengecek lukanya. Diberi kotak P3K juga untuk mengobati luka di daerah intimnya. Tapi lama ia mencari, ia tidak tahu dari mana darah itu berasal. Ia coba siram-siram pun tak ada darah mengalir dan tidak ada pula yang terasa perih.

Ibunya segera membawanya ke rumah sakit. Mendapat pernyataan dari dokter bahwa hymen-nya sudah rusak. Tamara hanya angguk-angguk saat dijelaskan hymen itu apa, karena ia rasa tak ada yang kurang darinya. Selama ini ia bahkan tak tahu ia punya hymen atau untuk apa hymen itu. Berkegiatan sehari-hari juga tak terganggu karena ketiadaan hymen itu. Jadi Tamara cuek-cuek saja.

Belasan tahun Tamara hidup tanpa bahasan hymen. Bahkan Tamara tak mengerti kenapa dulu ibunya harus sampai membawanya ke rumah sakit untuk periksa. Hidupnya baik-baik saja, sampai ia belajar di SMA. Penjelasan gurunya sama dengan dokter dulu. Hanya saja ada 1 kalimat tambahan, "Hymen itu bisa rusak tanpa harus melakukan penetrasi. Jadi bukan tanda keperawanan ya."

Tamara melongo. Ia bahkan tak tahu hymen pernah bisa dihubungkan dengan keperawanan. Saat istirahat teman-temannya sibuk membahas itu. Menceritakan kasus ini itu yang pernah mereka dengar. Bahwa tidak memiliki hymen selama ini memiliki stigma buruk di masyarakat. Tamara bahkan tak tahu itu termasuk sebuah issue dalam masyarakat. Yang Tamara tahu hymen itu adalah hal yang hilang darinya bahkan sebelum ia tahu ia pernah memilikinya. Dan Tamara rasa memanjat pohon mangga bukanlah sebuah dosa hingga ia bisa dikatai gadis tidak baik.

Bab reproduksi berlalu, topik gosip saat istirahat pun berubah. Melihat mudahnya hal itu hilang dari bahan omongan teman-temannya Tamara simpulkan hymen itu bukanlah bahasan sekrusial yang diceritakan teman-temannya. Selain itu ia tidak punya waktu memikirkan seberapa besar dosa memanjat pohon, ia sibuk berbunga-bunga oleh pacar pertamanya.

Cinta monyet yang orang-orang sepelekan kian tahun semakin bisa membantah segala cemooh. Mereka masih menjalin cinta setelah lulus SMA, saat kuliah, bahkan setelah kerja. Total 9 tahun mereka merajut cinta. Tak pernah terbersit di kepala Tamara menikah dengan orang lain kecuali pacarnya.

Act It Out!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang