Pada awalnya, Bae Yujin mengira kalau Jimin benar-benar akan membebaskannya dan membiarkan dia hidup tenang bersama sang nenek. Tapi ternyata, itu hanya sekedar khayalan belaka.
Sungguh, Yujin pikir, terkurung dalam penjara terasa jauh lebih baik da...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Sekarang kita akan pergi kemana lagi?" tanya Seokjin setelah menutup pintu mobilnya.
"Mana aku tahu. Bukannya kau yang mengajakku pergi?" balas Yujin sambil memakai seatbelt.
Di dalam restoran milik Min Yoongi tadi, mereka menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Makan, mengobrol, bercanda, dan tentu saja saling mengejek hingga salah satunya ada yang mengalah.
"Kau suka naik wahana di taman hiburan, tidak? Maksudku.. seperti roller coaster atau semacamnya," terang Seokjin bersemangat.
"Euhm.. sejujurnya aku belum pernah na-"
"Okay!! Kita pergi ke sanaaa~" Ia langsung menjalankan mobilnya, meninggalkan restoran tersebut.
"Ya! Aku belum selesai bicara."
"Aku sudah lama sekali tidak pergi ke taman hiburan. Setiap hari yang kulihat hanya stetoskop, suntikan, obat-obatan, kantong infus, pisau bed-"
"Oppa! Berapa alat lagi yang mau kau sebutkan?" tegur Yujin dengan bibir mengerucut.
"Eoh?" Seokjin bengong. "Ehehe.. mian." Dia nyengir kuda sekilas.
"Kapan terakhir kali kau ke sana?" tanya Yujin basa-basi.
"Entah. Mungkin.. hampir satu tahun. Aku baru tahu, ternyata jadi dokter tidak semudah yang kukira. Aku harus siap kapan pun saat pasien membutuhkan pertolongan. Tidak peduli masih pagi buta atau sudah tengah malam. Hhh~ haruskah aku ganti profesi saja?"
"Jadi petani?" ledek Yujin.
"Ya!" bentaknya. "Uhm tapi- jika benar begitu, aku pasti akan jadi petani yang sukses."
"Kenapa begitu??" Yujin mendadak penasaran.
"Karena ketampananku, akan banyak ibu-ibu yang membeli beras dan sayuran di tempatku. Mereka hanya mau membeli bahan pangan mereka dari hasil kebunku. Hebat, bukan?"
"Aigoo~" Yujin menggelengkan kepalanya, "terkadang aku meragukan kau ini dokter sungguhan atau bukan."
Seokjin tertawa geli melihat ekspresi pasrah sang gadis. "Oh ya, boleh kau ceritakan bagaimana Jimin bisa memberimu kalung itu?"
"Kenapa tiba-tiba membahas kalung lagi?"
"Aku sedikit khawatir. Sebenarnya apa yang Jimin inginkan darimu. Jika benar dia menyukaimu, bukankah akan lebih menyakitkan kalau dia sudah ingat semuanya?"
Yujin seketika diam. Memikirkan perkataan Seokjin yang memang masuk akal. Sejujurnya dia juga selalu dihantui rasa takut jika sewaktu-waktu ingatan Jimin sudah kembali. Tetapi dia belum memikirkan sampai sejauh itu. Yujin terlalu takut untuk lebih peka terhadap perasaan Jimin padanya. Bahkan jika ditambah kejadian kemarin malam, kala Jimin mencium dan memeluknya dengan penuh ketulusan, Yujin seperti ingin menapar dirinya sendiri. Mengingatkan dirinya lagi bahwa itu bukanlah Jimin yang sebenarnya.