bagian 20

229 25 3
                                    

Bukan hal yang mudah hidup dengan sayap yang patah, apalagi jika kamu adalah pengagum langit.

~Author

                                         

Siang ini entah kenapa Elegi begitu ingin ikut Naufal pulang ke rumah laki-laki satu itu. Padahal Naufal telah memintanya untuk menunggu bersama sahabat mereka yang lainnya. Elegi ingin lebih mengetahui kehidupan teman-teman barunya itu.
Dia merengak hingga Naufal tak kuasa menolaknya. Padahal Naufal tidak ingin Elegi mengetahui kehidupannya. Elegi orang kaya, karena itu Naufal sedikit segan mengajaknya ke rumah nya.

"Assalamualaikum Bu," ucap Naufal seraya mengetuk pintu rumahnya.

Perasaan Elegi menjadi gugup seketika. Debaran-debaran aneh memenuhi dadanya. Aneh memang padahal tadi yang minta ikut dirinya sendiri.

"Bang Naufal, aku grogi," ungkap Elegi seraya menarik-narik ujung baju milik Naufal gugup.

"Siapa suruh ikut, udah dibilang tunggu di rumah sakit sama yang lainnya," Naufal menggerutu.

"Walaikumsalam, Eh, anak ganteng ibu udah pulang."

Seorang wanita paruh baya yang baru saja membukakan pintu Elegi pikir itu pasti ibunya Naufal, disusul oleh seorang gadis remaja di belakangnya, sepertinya dia adik Naufal.

Naufal mencium takzim tangan ibunya, Elegi pun juga melakukan hal yang sama. Tante Nur mengelus lembut surai hitam milik Elegi.

Elegi tahu ibu Naufal biasa di panggil tante Nur oleh orang-orang, Naufal sendiri yang ngomong waktu itu. Sesuai dengan namanya, wajah tante Nur bercahaya tersendiri saat di pandang.

Begitupun adik Naufal ia juga turut mencium tangan Naufal dan Elegi. "Tangan kakak lembut banget, aku suka," celetuk adiknya Naufal, ia memandangi Elegi dengan mata berbinar.

"Nama kamu siapa cantik?" tanya Elegi seraya memberikan sekantong belanjaan yang sengaja ia beli untuk adiknya Naufal itu.

"Dinda kak," ucapnya memperkenalkan kemudian menerima pemberian dari Elegi. "Makasih kak," imbuhnya lalu menarik tangan Elegi untuk masuk ke dalam rumah.

"Duduk kak".

Elegi duduk di sofa usang yang sudah tak berbusa lagi. Ia tak menyangka kehidupan Naufal ternyata begitu sederhana. Bahkan selama ini ia mungkin kurang bersyukur, dan selalu mengeluh.

"Nama kamu siapa nak?" tanya tante Nur lembut.

"Elegi, tante," jawabnya dengan senyuman mengembang di bibirnya. Perasaan gugupnya tiba-tiba hilang ketika melihat sambutan baik keluarga Naufal.

Tante Nur mengangguk "Satu sekolah sama Naufal?" tanya Tante Nur.

Kini Elegi menggeleng "Enggak Tan, beda," jawabnya kikuk.

"Nak Ele udah makan?" tanya tante Nur, lebih ke menawarkan.

"Belum makan dia Bu," ucap Naufal sementara Elegi hanya terkekeh menahan malu.

"Kamu gimana sih bang," hardik tante Nur seraya memukul anaknya itu pelan. "Yaudah ayo ke dapur, ibu tadi udah masak loh,"

"Hayu kak," ajak Dinda, ia menarik-narik tangan Elegi yang malu-malu.

Masakan tante Nur memang terlihat sederhana tetapi rasanya tidak perlu di ragukan, mungkin karena tante Nur memasaknya dengan ikhlas hingga rasanya begitu nikmat meski dengan bahan seadanya. Elegi jadi merindukan masakan Lia, ibunya. Sejak Ayahnya menikah lagi Lia tidak pernah ingin menyentuh apapun lagi di dapur.

VISHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang