Berawal dari surat cinta milik sahabatnya yang dia masukkan ke locker yang salah, Chisana Adijaya - siswi SMA Garuda yang terkenal seantero sekolah sebagai "wings love" itu berakhir terjebak kontrak dengan si pemilik locker, Tivan Bramiwana - siswa...
Setelah hampir sebulan, akhirnya bisa update juga ㅠㅠㅠ
Vote dan komentar kalian jangan lupa! Biar author abal-abal ini semakin semangat menamatkan cerita ini.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
.
.
.
.
.
.
Halaman sekolah SMA Garuda terlihat ramai oleh murid-murid yang berbondong-bondong berjalan menuju kelas mereka.
Chisa keluar dari angkot saat sudah tiba di depan gerbang sekolahnya. Kakinya melangkah ringan menuju gerbang, namun langkahnya terhenti saat ada yang mencekal tangannya dari belakang.
Chisa menoleh. "Tivan?" Nama itu keluar begitu saja dari mulutnya. Tubuhnya limbung hingga menabrak dada bidang Tivan saat tubuhnya ditarik cowok itu.
Tivan langsung memeluk Chisa erat, mengabaikan tatapan aneh dari murid-murid yang berjalan masuk ke sekolah.
"Van, lepas. Murid-murid pada ngelihatin kita," pinta Chisa disela-sela pelukan Tivan yang kian erat. "Kamu kenapa?" Chisa bingung.
"Chis, maafin aku ..." Akhirnya Tivan bersuara.
Paham dengan maksud laki-laki itu, Chisa menghela nafas pelan. Ancang-ancang dia melepas pelukan Tivan, kemudian menatap wajah laki-laki itu lekat.
"Nggak usah minta maaf, kamu nggak salah," ucap Chisa sambil tersenyum manis.
"Kamu marah, ya?"
Chisa menggeleng pelan. "Ngapain aku marah? Lagian, bukan kamu yang salah," terangnya.
"Kamu beneran nggak marah? Chis, aku benar-benar minta maaf sama kamu ..." Tivan masih tidak percaya kalau Chisa tidak marah setelah dihina seperti kemarin oleh Ayahnya.
Bisa terdengar helaan nafas pelan gadis itu. "Kamu mau aku marah? Aku marah, ya!" Chisa berkacak pinggang sambil memasang ekspresi seperti orang kesal.
Alih-alih garang, gadis itu justru terlihat dua kali lebih imut di mata Tivan. Dia menarik pelan-pelan tangan Chisa, kemudian menggenggamnya lembut. "Chis, kalau kamu marah, aku maklum kok. Setelah semua yang Papa aku katakan ke kamu kemarin, aku rasa kamu memang berhak marah," tuturnya sambil menatap dua mata itu bergantian.
"Aku nggak marah sama Papa kamu ..." Chisa menghela nafas panjang, lalu dia seolah batal mengatakan sesuatu yang hampir lepas dari bibirnya.
Tivan tidak bersuara, dia hanya menatap lekat wajah kekasihnya.