Chapter 1

7.6K 448 18
                                    

"Dibilang gendut? Gak masalah!"


Gadis dengan kacamata besar berbentuk lingkaran itu sedang menikmati tontonan acara televisi sambil mengunyah martabak coklat plus minuman Boba kesukaannya. Sesekali dia menggigit gemes bola-bola kecil nan kenyal itu. Fostur tubuh malas-malasan dia buat sesempurna mungkin, punggung lebarnya bersandar di kepala sofa, sedangkan perut buncitnya ia pamerkan sehingga nampak seperti bola.

"Oahh..." sepasang matanya berbinar-binar. Kaca mata besarnya melorot, dia menggosok-gosok sepasang matanya saat menyaksikan gadis-gadis langsing di layar tv.

"UPI..." panggil seseorang, terpaksa nama yang dipanggil menyahut.

"Belikan Ibu gula, sayang, gula kita habis."

Teriakan Ibu Upi membuatnya harus beranjak malas. Ibunya selalu begitu, suka menyuruh Upi ketika Upi sudah stand by di depan TV.

Bersusah payah Upi bangkit dari sofa, berat badan di atas enam puluh kilogram dengan tinggi hanya 150 cm membuatnya mati-matian membawa lemak itu kemana-mana. Bahkan wanita hamil insecure ketika melihat perutnya yang semakin besar membola.

Suara decitan pintu kamar yang terbuka membuat Upi menoleh, gelak tawa menggelegar ketika sorot mata Upi menyaksikan penampilan Abangnya. Dia Agung--anak pertama yang baru saja pulang dari Bandung.

"Ngapain ketawa sendiri? Abang harap kamu gak gila gara-gara pengen jadi langsing."

Ekor mata Agung melirik perut gembul Upi yang dibungkus kaos tipis. "Lama-lama kamu jadi ternak lemak deh." Pandangannya menaik menyaksikan pipi Upi. "Mana pipinya udah kayak bakso beranak lagi. Niat gak sih kamu jadi adek aku? Abang malu tau punya adek segede Gaban."

"Heh Abang laknat, mending kamu ngaca dulu sono sebelum kencan sama Kak Kiki. Nyemir rambut gak tangung-tanggung, coklat banget rambutnya udah kayak singkong. Mana licin banget lagi, entar juga nyamuk sama lalat kepeleset di rambut kamu." 

Mendengar penuturan Upi dia segera cepat-cepat masuk ke dalam kamar memperhatikan rambut kinclongnya di depan kaca. Adeknya itu memang keterlaluan, baru saja dia pulang dari Bandung tapi gelar laknat sudah kembali dia sandang.

"Ini," Nur--Ibunya Upi-- menyerahkan uang selembar kepada anak gadisnya itu. "Ingat pesan Ibu, jangan nyanyi-nyanyi kalo mau beli sesuatu di warung. Oke?"

Bukan tanpa sebab Nur menasehati anaknya ketika menyuruh Upi belanja di warung. Pernah sekali, ah tidak, beberapa kali, ketika Upi di suruh beli belacan 2 bungkus yang datang malah permen kopiko, alasan logis yang Upi berikan karena bungkusnya sama. Yang lebih parahnya lagi---kejadian ini terjadi dua hari yang lalu. Selama perjalanan menuju warung Upi terus menyanyikan lagu 'terong di cabein', hingga sampai di rumah dia diceramahi habis-habisan karena beli terong 2 kilo serta cabe 1 kilo, padahal Nur menyuruhnya ke kedai untuk membeli sabun Lifeboy.

"Astaga, punya orang tua pelit bener. Masa beli gula uangnya cuma sepuluh rebu sih?!" Kedua tangan Upi terangkat sambil melebarkan uang bergambar pahlawan Frans Kaisiepo itu lalu menerawang.

"Gula harganya cuma 7 ribu setengah kilo, Upi, kan lumayan sisa tiga ribu buat jajan."

"Upi udah SMA loh, Bu, bukan anak SD lagi ataupun anak TK. Jajan tiga ribu mana cukup buat perut gembul ini."

"Cepetan sana, katanya mau langsing. Kalau jajan Mulu gimana mau langsing. Lagian Ibu mau masak bubur kacang ijo, gak usah jajan-jajan lagi."

Upi menggaruk kepala bagian belakang. "Iya juga yah!" ucapnya dengan wajah mendukung.

Selepasnya Upi pergi. Dia berjalan riang menuju pintu. Kala pintu di buka, nampaklah sosok lelaki berkaos putih dengan celana jeans beserta topi hitam dan kaca mata. Satu tangannya berkacak pinggang, satu tangan lagi menaik turunkan kacamata sambil menatap langit, berpose ala-ala model.

"Ngapain Lo?" tanya Upi bingung. Pacar barunya itu memang rada aneh, tapi Upi suka. Sebagaimana Aga yang menyukainya meski ia memiliki badan gemuk.

"Katanya mau kencan!"

"Kencan-kencan! Kencan tuh sama si Alex." Menunjuk ayam yang baru saja lewat.

"Gini amat punya pacar. Masa kencan sama si Alex, udah Ayam jantan lagi. Gue gak belok kali."

Upi melenggang pergi setelah mengenakan sendal jepit putih kinclong yang ia curi dari pengajian tetangga minggu lalu.

Selama perjalanan tidak hanya sekali dua kali ia bertegur sapa dengan orang-orang yang berlalu-lalang. Di kampung Upi, dia merupakan salah satu gadis yang mudah akrab dan suka berbaur dengan sekitarnya. Upi yang ramah, Upi yang suka menolong, contohnya seperti membantu Pak Raden menggiring sepuluh bebeknya ke kandang, meski besoknya bebek Pak Raden tersisa sembilan. Upi juga gadis yang penurut, suka mengajari bocah-bocah di masjid baca Qur'an walaupun berakhir dengan dia yang minta diajari Alif-ba-ta.

Sorot mata Upi tidak beralih pada penjual bakso yang ada di pinggir jalan. Aroma ketika Upi melewati gerobak bakso itu membuat perut Upi memaksa untuk singgah. Tapi sayang, Ibunya hanya menyisakan tiga ribu untuknya.

"Disaat gini gak ada satu duitpun yang mau nemenin." Lirih Upi pasrah. Merelakan bakso beranak yang sedang melambai-lambai di gerobak mang Udin.

"Mau bakso?"

Aga berdiri gagah di samping Upi sambil bersidekap dada. Memperlihatkan tubuh atletisnya dengan sombong.

"Aga punya uang?" iris mata Upi berbinar, untung ada pacarnya--pikirnya. "Beliin dong!"

Upi bertepuk tangan ria kala melihat Aga merogoh saku celana. Beruntung sekali ia hari ini, meski tidak punya uang ada bank berjalan yang bisa ia andalkan.

Tangan Aga terus merogoh, mencari mulai dari dua kantong depan, kantong belakang sampai pada kantong paling kecil sekalipun. Kening Upi mengernyit samar. Perasaannya mulai tidak enak.

Aga mengaruk belakang kepalanya dengan wajah bersemu malu.

"Gimana?" tanya Upi.

"Gue lupa, tadi baru bayar utang 200 ribu sama si Shaleh. Hehe!" ungkapnya sambil nyengir, memperlihatkan barisan gigi putih tertata rapi.

Upi mengulum bibir, memaksa tersenyum meski ia hampir kehilangan kesabaran untuk menendang cowok itu ke luar angkasa. Syukurlah, Upi masih ingat kalau Aga yang ganteng adalah lelaki bujang yang meminangnya dua hari yang lalu. Belum lagi senyum menawan Aga, setidaknya hanya itu satu-satunya alasan setiap kesalahan Aga di mata Upi bisa termaafkan.

🍩🍩🍩

Eh... Jangan lupa follow yah. Vote juga. Satu lagi lupa, comment😘

Manusia Berisik✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang