"Tetaplah makan meski sering mendapat hujatan!"
Sepanjang perjalanan Upi tidak hentinya memonyongkan bibir. Dia sangat kesal hari ini perkara insiden membeli gula. Bagaimana tidak, Nur bilang harga gula setengah kilo cuma tujuh ribu, nyatanya sudah naik jadi delapan ribu. Niat Upi yang ingin membeli telor gulung tiga tusuk pun akhirnya gagal. Dia hanya membeli dua tusuk, itupun terpaksa dia berikan satu tusuk kepada Aga yang belum sarapan sejak pagi tadi.
"Eh, Upi-nya Aga udah kenyang belum?" tanya Aga mencondongkan kepala di samping lengan besar Upi setelah membuang tusuk telur gulung ke dalam tong sampah tetangga yang baru saja mereka lewati.
"Mana kenyang cuma satu tusuk!"
"Yaudah nanti kita beli lagi," ucap Aga membalas santai.
Mulut Upi yang cemberut perlahan memudar. Sorot matanya menatap tidak yakin kepada Aga.
"Beneran?"
"Ho'oh!" Aga mengangguk antusias, sebelum akhirnya ia melanjutkan, "tapi nanti malam Aga jaga lilin yah, Upi yang jadi ngepetnya!"
Kedua tangan Upi terkepal. Jika ia melepaskan satu tinjunya, wajah Aga terlalu tampan untuk di bonyok. Baiklah, untuk kesekian kalinya Upi harus sabar, tahan, pelan-pelan, mundur satu langkah biar tetap cantik.
"By the way busway, Tante mau buat apa pake beli gula segala?"
"Mau buat bubur kacang. Beruntung banget dong Lo mampir di rumah, bubur kacang kan kesukaan Aga."
"Ihh..." Aga mencubit pipi Upi, menekan kedua telapak tangan di pipi gembul cewek itu lalu membentuknya seperti bola. "Tau banget deh kesukaan pacarnya apa."
Jujur saja, setiap Aga tersenyum, hati Upi selalu ketar-ketir terjungkal terkapar dibuatnya. Senyum Aga tuh candu, bak makan jengkol tapi ujung-ujungnya gak bisa berhenti. Memori memalukan ketika Aga mengajak Upi pacaran akan selalu membekas di ingatannya. Sekaligus insiden terlucu disepanjang sejarah kekonyolan Upi.
Sesampainya di rumah aroma kacang hijau yang direbus menyeruak hingga ke ruang tamu. Nur hanya tinggal memasukkan santan, gula merah dan gula putih untuk menciptakan cita rasa yang nikmat.
Angin yang malu-malu kucing, tidak ingin berhembus melalu jendela dapur yang terbuka memaksa Upi menyalakan kipas angin di dekat kursi kayu samping jendela. Di depan mereka ada meja, namun sayangnya tidak ada satu pun cemilan, membuat Upi hanya memegangi perutnya yang lapar.
"Mau dibantu nggak, Tan?" tawar Aga, dia duduk si samping Upi.
Dulu, sebelum Aga berstatus jadi pacar Upi, setiap memanggil Nur dia hanya memakai tutur kata 'Ibu'. Tapi setelah sah menjadi calon mantu, Aga lebih suka manggil Tante, biar gaul katanya.
"Gak usah, Ga, bentar lagi masak kok."
Aga mengangguk antusias sambil mengibas-ibaskan bajunya karena gerah. Matahari kali ini bersinar sangat cerah, memancarkan silau dan panas yang menyengat.
Lama menunggu, akhirnya bubur kacang hijau buatan Nur selesai juga. Wanita muda namun sudah menjanda itu memanggil Putra sulungnya untuk ikut makan bersama di dapur.
"Bang Agung gak di rumah, Bu. Dia lagi pergi. Tadi coklat banget rambutnya kayak kulit singkong."
"Abang kamu cat rambut lagi?" bola mata Nur membulat tak percaya.
"Iya, Bu. Udah kecanduan nyemir rambut kali, tiap hari ganti warna udah kayak ganti baju aja."
Mendengar penuturan Upi dia hanya geleng-geleng kepala. Semenjak anaknya itu tahu gaya Agung selalu melewati batas wajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja