Sunyi. Tidak ada terdengar suara kecuali khas malam di pedesaan, serta, sesekali isak tangis Shena memecahkan keheningan. Bantal Upi menjadi korban tumpahan air mata gadis itu. Disampingnya ada Upi yang setia menepuk punggung Shena untuk memenangkan cewek tersebut.
"Yang sabar ya, Shen, semoga aja kedua orang tua Lo cepat akur. Jangan nangis lagi dong, kan gue jadi pengen ngakak mulu."
Shena menghentikan tangisnya, dia mendongak lalu menatap Upi nyalang. Bisa-bisanya Tuhan menitipkan sahabat laknat seperti Upi kepadanya.
"Bahkan disaat gue nangis kayak gini?" tanya Shena sambil menunjuk air matanya yang berhamburan, sedangkan Upi mengulum bibir takut tawanya muncrat begitu saja.
Upi menggeleng kecil sambil menunduk, berusaha menghindari kontak mata dengan sahabat kecilnya itu.
"Lo lagi senyum?" Shena mulai menginterogasi. Bagaimana mungkin ada orang yang tertawa di tengah-tengah duka sahabatnya, kecuali sahabat laknat namanya.
"Nggak kok, Shen, gue ketawa cuma karena ..." ekor mata Upi mencari-cari.
Sebelum akhirnya ia menemukan kaca di bawah kolong tempat tidur.
"Coba ngaca!" Perintah Upi sambil menghadapkan permukaan kaca kecil segenggam tangan kepada Shena.
Sejurus kemudian Shena tersentak kaget, ia hampir berteriak andai ia tidak lupa jika wajah yang dia saksikan di pantulan cermin adalah wajahnya sendiri.
"Ya Tuhan, kok gue jelek banget, sih? Maskara pake luntur segala lagi, mirip banget gue kayak kuntilanak."
Upi tertawa cekikikan, mengambil tissu dan membantu Shena membersihkan kedua pipinya yang hitam.
Shena menyenggol lengan Upi. "Udah puas ketawain gue?"
Merasa kalimat barusan merupakan teguran, Upi memilih menahan tawanya sebisa mungkin.
"Iya-iya, sorry. Lagian cara Lo nangis aneh bener, mana ada nangis sambil main hp. Gue harap Lo gak ikutan trend kayak yang dilakuin orang-orang, nangis sambil selfi."
"Ya enggak lah! Gue cuma mau baca chatting an gue sama ayang Radit, cara paling ampuh buat menghibur diri gue yang lemah."
"Nggak usah alay, gue gak suka. Malu gue punya teman yang bucin plus alay bin lebay."
Shena cemberut, sebelum fokusnya tertuju pada anting berlian biru yang menggantung indah di telinga Upi.
"Anting-anting Lo cantik banget bestie, di kasih sama siapa? Ayang Aga, yah?" goda Shena sambil tersenyum mengejek. Mungkin ia sudah lupa jika dirinya baru saja selesai meratapi nasib akibat kedua orangtua yang tidak akur.
Menyadari maksud Shena, Upi menyentuh telinganya sendiri lalu berujar, "oh, ini pemberian dari seseorang, seseorang yang gue gak suka sama hadirnya. Gue benci dia, tapi gue terpaksa nerima."
"Nerima. Nerima siapa? Jangan bilang kalo Lo dijodohin sama Bibi Nur?"
Upi berdecak kecil, merutuki pendapat Shena yang amburadul. "Ya enggak lah. Orang yang ngasih anting yang gak jelas ini calon Ayah gue, lelaki yang belum pernah gue temui tapi bisa-bisanya dia kasih barang-barang mewah mulu. Ini nih ciri-ciri orang yang suka nyogok biar bisa diterima."
"What? Lo mau punya bokap baru?"
Refleks tangan Upi beraksi membekap mulut Shena. Cewek itu memang kalo teriak gak tanggung-tanggung, hampir satu kampung yang dengar.
"Mulutnya yah, gak bisa dikontrol."
Rahang Shena turun cukup lama setelah ia menepiskan tangan gemuk Upi yang menutup mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja