Tribun sekolah SMA Garuda cukup ramai kali ini. Sorakan gembira dari mulut para siswa siswi menggema terutama dari sekumpulan cheerleader sambil mengayunkan pompom ke sana kemari.
Di ujung sana anak perempuan bertubuh tambun sedang sibuk bercengkrama dengan Arka dan juga Arkan. Meski baru saja saling mengenal, menjadi cepat akrab bukanlah penghalang.
Sorot mata Upi teralihkan kepada seorang lelaki ketika ia sedang tertawa terbahak-bahak mendengar candaan Arkan. Melihat keadaan Aga baik-baik saja ada sedikit rasa lega dihatinya.
Beberapa siswa dari kelas XII baik kelas IPS maupun kelas IPA menatap tidak suka kepada Upi. Bagaimana tidak, cewek dengan pipi montok itu tengah duduk dibarisan yang di khususkan untuk SMA Graha. Seharusnya Upi mendukung sekolah mereka, bukan malah SMA Graha.
Namun, Upi tidak pedulikan itu. Baginya dia tidak mendukung siapa-siapa, dia lebih suka duduk di sana karena tidak ada seorang pun dari sekolah mereka yang akan menerima dirinya.
Hari itu, Upi melihat jelas betapa Shena sangat peduli kepada Aga. Betapa keduanya tidak ingin menyembunyikan hubungan mereka lagi. Masih teringat situasi tadi pagi, emosi yang menguasai diri Radit saat Shena mengakhiri hubungan mereka berdua. Lebih sakitnya lagi, kenapa harus di depan semua orang? Kenapa Shena bertingkah seolah-olah dia yang tersakiti selama ini? Dengan drama yang dia buat-buat, Shena benar-benar sukses membuat semua orang menyalahkan Radit dan membela dirinya dengan tatapan iba.
Senyum Upi memudar dengan cepat. Seperti ada jarum tak kasat mata menusuk hatinya dengan kasar. Kenapa harus Shena? Kenapa tidak cewek lain saja? Ada banyak pertanyaan di benak Upi yang belum bisa dia temukan jawaban.
Sorot mata Upi menyaksikan saat Aga terlihat merintih sakit ketika siswa lain yang ingin ikut tanding basket tidak sengaja menyenggol pergelangan tangan cowok itu. Sebisa mungkin Aga kembali kuat, menyembunyikan rasa sakitnya dengan sempurna. Dia nampak pucat, tidak sesegar hari kemarin. Memakai seragam basket warna merah, menyembunyikan kulit beningnya dengan memakai legging hitam sampai di atas matahari kaki.
"Kayaknya Aga udah putus sama Upi."
"Mendingan Shena sih dari pada si gendut."
"Ya iyalah nggak cocok. Lebih cocok sama Shena dong. Udah cantik, juaranya kelas XII, kebanggaan guru-guru, sering ikut olimpiade, pintar matematika, ahli karate. Apa sih yang kurang dari Shena?"
"Kayaknya si gendut menjadi salah satu korbannya si Aga, deh. Cuma dijadikan ssbatas mainan doang sampe di mana Aga udah merasa bosan."
"Si Alia aja ditinggalin ratunya kecantikan, apalagi si gendut, ratunya segala lemak."
Tawa cekikikan mengudara. Mungkin, itulah yang Upi dengar ketika dia duduk di tribun barisan SMA Garuda. Dan itu menjadi salah satu alasan mengapa Upi memilih menjauh dari sana dan bergabung dengan SMA Graha. Siswa SMA Graha memang tidak ramah dengan menyapa Upi atau semacamnya, tapi setidaknya mereka tidak sibuk menggunjing orang lain dan menjatuhkan mental beberapa siswa yang merasa tidak percaya diri, seperti Upi contohnya.
Di lapangan sana, sudah ada Kevin sebagai leader basket sedang memimpin pasukannya. Kala peluit ditiup, bola pun mengambang diperebutkan oleh mereka yang ikut bermain. Terlihat jelas jika Kevin sengaja membiarkan Aga menangkap bola basket itu terlebih dahulu, sebelum senyuman merendahkan terbit dari bibirnya yang berbekas kan luka. Entahlah, luka di bibir anak laki-laki itu memang tidak pernah sembuh, makin hari makin terkelupas, padahal dia bukanlah preman yang suka dengan tawuran dan semacamnya.
"Kali ini gue nggak bakalan biarin Lo menang," bisik Aga dengan sorot mata tajam saat melewati Kevin sambil memantulkan bola untuk masuk ke dalam ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja