Chapter 41

1.1K 140 29
                                    

"Aku juga mencintaimu, tapi tidak untuk hari ini"

🍩🍩🍩

"Dari mana? Lama banget udah malam baru pulang!" Agung melirik sekilas pada pintu rumah yang terbuka saat mendengar kendaraan terparkir di pelantaran rumah. "Siapa?"

Upi menoleh ke belakang, lalu memberi isyarat agar Kevin tidak harus ikut masuk ke dalam rumah. Terdengar tidak sopan memang, namun Upi harus menjaga agar tidak ada pertanyaan terlontar dari mulut Agung kepada cowok itu.

"Ibu bilang kamu semakin bandel. Kamu juga gak suka sama saudari kita." Agung bangkit dari sofa lalu menepiskan jarak antara dirinya dengan Upi. Satu tangan cowok itu berperan menepuk kecil bahu Upi, cukup lama tangannya bertengger di sana. "Jangan susah di atur, nggak seharusnya kamu membantah pilihan Ibu. Apa yang Ibu lakukan untuk kebaikan kita juga, Upi."

Upi menghembuskan napasnya panjang, telinga anak perempuan itu panas sekarang. "Upi nggak mau bahas itu, Bang. Upi lagi capek sekarang."

Sepertinya Upi sudah tidak bisa merasakan rasa sakit lagi, dia sudah terlalu lelah, baik fisik maupun batinnya hingga semua terasa hambar.

"Tapi abang mau-"

"Upi pikir cuma Bang Agung satu-satunya tempat Upi mengadu dan bersandar setelah menjalani hari-hari menyedihkan. Upi nunggu abang pulang dari perantauan sampai berbulan-bulan agar Upi bisa berkeluh kesah, menceritakan semua yang terjadi disaat abang nggak ada di rumah." Upi menghela napas untuk kesekian kalinya. Ada oksigen yang bisa dia hirup, namun rasanya sangat sesak hingga paru-paru itu susah beroperasi dengan lancar.

"Upi capek, Bang. Capek banget malahan. Abang ingat pertama kali abang pulang dari perantauan?" Agung membisu, hingga Upi akhirnya memilih menyelesaikan kalimatnya, "Bang Agung gak ada nanya keadaan Upi. Liat adek kamu ini, bang, kurus banget sampe Upi merasa Upi hanya berjalan tanpa daging. Upi gak bisa makan, dipaksain juga ujung-ujungnya Upi mual lalu muntah." Selalu saja kelenjar mata itu memanas.

Upi pernah berjanji, setelah kepergian ayahnya ia akan menjaga Nur seperti lelaki pahlawan itu menjaga istrinya. Menghilangkan rasa sepi Nur, menyalurkan kebahagiaan, menghilangkan rasa lelah dan letihnya. Namun sekarang Upi sadar, wanita itu kini telah bahagia dengan keluarga barunya. Ibunya tidak lagi merasa sepi sekarang, tidak sedih lagi, dia selalu tersenyum bahkan masih di awal pagi.

"Maaf!" Hanya kata sederhana itu yang terdengar. Agung tau ia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menggantikan ayahnya, tapi untuk kesekian kalinya ia gagal lagi.

Upi kuat, meski ia harus menelan bulat-bulat rasa pahit yang terasa semakin pekat. Perlahan, satu persatu, orang-orang paling dekat dengannya menghilang walaupun masih bisa dipandang oleh mata.

"Gak papa, bang, gak usah merasa bersalah. Tapi lain kali peduliin saudarimu yang lagi rapuh ini ya, bang."

Niat berpamitan kepada Nur untuk menjenguk Aga di rumah sakit Upi urungkan. Gadis itu bergegas pergi meski masih banyak keluh kesah yang mengganjal di hatinya untuk ia ceritakan kepada Agung. Upi sadar, jika Agung bukanlah sosok yang tepat untuk menjadi tempat menghilangkan beban.

"Gimana? Di kasih ijin?" tanya Kevin dalam keadaan tubuh bersandar pada motor, sedangkan helm ia jinjing dengan satu tangan.

Upi mengangguk singkat. Berbohong sesekali sepertinya tidak masalah--pikir Upi.

Sesampainya di rumah sakit, Upi tatap sebentar gedung putih yang berdiri kokoh di hadapannya. Aroma obat-obatan segera menusuk indra penciuman kala dua sejoli itu sudah memasuki lorong dan melewat jejeran bangsal menuju pintu nomor 02 sesuai petunjuk arah yang diberikan wanita dalam balutan seragam warna suci di tempat resepsionis.

Manusia Berisik✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang