"Sebentar!" sahut Upi dari dalam kamar, keringat membanjiri baju kaos cewek itu yang sekilas terlihat seperti emak-emak lagi senam sehat di pagi hari.
Pintu terbuka. Seorang lelaki berdiri kokoh dengan sepatu Converse menapak lantai teras. Mata Upi perlahan naik, diperhatikannya style lelaki itu yang cukup menawan. Ada arloji merek Fossil melingkar di pergelangan tangannya. Kombinasi flaid shirt Dengan ripped jeans warna hitam menjadikannya terlihat berbeda dari hari terakhir Upi bertemu dengan sosok teman saudaranya itu.
"Eh, ada Bang Galih!"
Lelaki yang di sapa tersenyum. "Assalamualaikum, Upi!"
"Wa'alaikumussalam, Bang."
Sebentar Upi menoleh ke arah pintu kamar yang tertutup di dekat jendela ruang tamu.
"Maaf, Bang, keknya Bang Agung lagi keluar, deh. Soalnya pintu kamarnya ke kunci. Emang gak nelpon dulu tadi sama Bang Agung sebelum kesini."
Cowok itu terkekeh, ada aroma maskulin menguak serta suaranya yang dalam dan rendah menjadikannya semakin terlihat menarik di mata wanita.
"Aku kesini bukan mau ketemu Agung kok."
Upi menaikkan satu alisnya. "Terus... Bang Galih mau ketemu siapa? Ibu? Ngapain? Aneh-aneh aja deh Bang Galih."
Untuk kedua kalinya lelaki berusia 25 tahun itu tertawa, membuat jenggot tipis yang membingkai wajahnya bergoyang ke sana-kemari.
"Mau ketemu kamu, Upi." Diliriknya ke dalam rumah sebelum ia kembali berujar, "tamunya gak disuruh masuk dulu. Capek juga naik mobil dari Bandung ke sini cuma demi ketemu kamu."
Upi garuk kepala. Pandangannya beralih pada seonggok mobil yang terparkir di halaman rumah mereka, di mana di atas tanah yang tidak terlalu bidang itu tumbuh rumput hias dengan subur.
"Maaf, bang. Silahkan masuk."
Tanpa basa-basi Galih masuk lalu duduk di atas kursi panjang yang terbuat dari bambu, memperhatikan rumah Upi yang sederhana dengan papan kayu bercat biru muda. Beberapa foto terpajang di dinding. Mulai dari foto Agung yang nampak memamerkan barisan giginya dengan lebar dalam balutan seragam toga. Nur dan juga mendiang suaminya ketika melaksanakan akad nikah. Serta foto si kecil Upi berusia lima tahun sedang bermain masak-masakan di halaman belakang rumah beserta para pasukannya.
"Upi buatin teh manis dulu ya, Bang. Maaf gak ada penawaran, soalnya yang ada cuma teh manis doang. Kalau mau minuman yang warna merah, hijau atau pun orange, baiknya Bang Galih datang pas hari lebaran aja. Hehe...."
"Gak papa, Upi, gak usah repot-repot. Aku datang kesini cuma mau ngelamar kamu."
"What?" Tubuh gemuk Upi terjungkal kebelakang, bola matanya melotot sempurna.
Bisa-bisanya cowok yang baru saja bertemu dengannya masih bisa di hitung jari ingin melamarnya begitu saja. Saat ini juga. Detik ini juga. Ayolah, dia pasti sedang bercanda.
"Ah, Bang Galih mah bisa aja. Kalo nyindir gak tanggung-tanggung. Upi tau kok kalo Upi emang gak laku, gak ada yang suka sama gak ada yang mau." Upi berucap dengan nada jenaka. Ternyata hidup Galih sebercanda itu---pikirnya.
Kening Galih mengernyit. "Siapa yang bercanda, Upi, aku sedang serius. Apa Ibu ada di rumah, sekalian minta restu dari Ibu."
Rahang Upi merosot, dia menganga cukup lama. Sepertinya orang yang saat ini ia ajak bicara bukanlah Galih yang asli. Karena seingat Upi cowok itu pernah bilang ke Agung kalau tipe cewek idamannya salah satunya adalah bertubuh ramping. Dan Upi.... Jangan ditanya lagi, dia tidak termasuk ke dalam kriteria cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja