Angin berhembus lancang. Di atas motor Upi memeluk tubuhnya sendiri. Dia menatap punggung Aga yang tengah mengemudi, lalu berkhayal jika suatu hari nanti Upi bisa mendekap tubuh itu, memeluknya seerat mungkin.
"Dingin banget Ga, ini semua gara-gara Lo. Dibilang pulang sebelum Maghrib kalian malah ngajak makan-makan. Mana udah malam banget lagi, pasti Ibu sama Bang Agung udah nyariin. Handphone gue juga mati, senasib sama handphone Lo."
"Gak usah khawatir, Bang Agung sama calon ibu mertua gue gak bakal marahin Lo karena pulang larut malam selagi gue yang antar Lo ke rumah."
Upi mendengus kesal. "Bukan soal gue pulang bareng siapa, Bang Agung pasti omelin gue dengan alasan anak gadis gak boleh pulang larut malam."
"Tenang aja Upi cantik, Lo aman kalo pulang sama gue."
Jawaban Aga itu itu saja. Dari pada meladeni manusia aneh seperti Aga lebih baik Upi memilih diam saja. Bicara sama Aga itu sama saja bersiap untuk darah tinggi.
Untuk sampai di kampung Upi, terlebih dahulu mereka harus melewati jalanan sepi, yang mana di samping kiri kanan hanya ada tumbuhan ilalang dan pohon-pohon besar. Tidak ada lampu jalan penerang, yang ada hanya cahaya minim dari motor butut Aga. Si anak sultan yang ingin hidup sederhana.
"Besok minta Tante Nur buatin bubur kacang ijo ya. Udah lama banget gue gak makan kacang ijo buatan calon mertua. Bunda kalo masak bubur gak pernah enak. Kacangnya keraslah, rasanya hambarlah, lupa masukin santanlah. Gini amat gue punya Bunda yang bisanya cuma manja-manja sama Papa."
"Gak bisa, gula mahal sekarang. Kacang ijo juga udah punah. Santan harganya menjulang tinggi," ujar Upi dengan oktaf suara lebih tinggi.
Aga cemberut, andai Upi bisa menyaksikannya sudah Upi tarik bibir cowok itu atau bahkan menamparnya sekeras mungkin. Masalahnya bibir Aga selalu menggoda, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis.
"Pelit banget sih, lagi pula mana ada kacang ijo punah, Lo pikir spesies T-rex apa?!"
"Diam, gue lagi gak mood buat bercanda."
"Yang bercanda siapa--"
"Diam, kuping gue panas dengar ocehan Lo mulu."
Aga menurut, dia fokus menatap jalanan yang mana radius mereka dengan perkampungan masih sangat jauh, belum bisa dipandang mata.
Ngomong-ngomong tentang Shena dan Radit, mereka sudah terlebih dahulu sampai di rumah. Shena akan tinggal satu malam di rumah sang pacar atas keinginan calon mertuanya. Lagi pula jika ia pulang ke rumah yang ada hanya ia lelah menyaksikan percekcokan antara kedua orang tuanya.
"Tubuh gue hangat kok, Lo bisa peluk semau Lo," tutur Aga. Samar-samar Upi mendengar, namun ia tahu apa maksud cowok itu.
"Gue ... Gak pantas!" lirih Upi hampir tidak terdengar.
Aga menghentikan sepeda motornya. Ia menoleh sekilas sekedar ingin menyaksikan wajah Upi yang terlihat sendu.
"Maafin gue tentang semuanya. Maaf sudah mengecewakan Lo. Nggak mempublish status kita bukan berarti gue malu ngakuin Lo. Lo salah Pi, ada alasan dibalik gue gak mau semua orang tahu kalo Lo pacar gue."
Upi terkekeh pelan. Dia hanya merasa lucu ketika Aga selalu berusaha untuk membela dirinya yang salah.
"Gue liat semuanya, bagaimana orang-orang memperlakukan Lo dengan tidak baik. Video semasa SMP yang tersebar waktu itu gue udah liat. Gue takut cewek cewek gila itu nyakitin Lo kalo mereka tau Lo pacar gue sekarang. Gue gak mau kita jadi mantan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja