"Aku dan lemak yang tak tahu makna berpisah"
Upi, kamu lagi ngapain? Seharian gak pernah keluar rumah. Tumben amat," teriak Agung sambil menggedor pintu kamar Upi. Sesekali dia menempelkan bibirnya yang membulat seperti mulut ikan ke permukaan pintu lalu bersuara seperti badut, berniat menjahili Upi. Disampingnya berdiri seorang wanita---Kiki, pacarnya.
"Si Agam cariin kamu tadi, gak ada yang ngajar anak-anak mengaji di Masjid, Agam sibuk hari ini."
Dia beralih menempelkan daun telinga ke permukaan pintu. Namun, percuma saja, tidak ada yang menyahut, sangat sunyi seperti kuburan di malam hari.
"WOI UPI, KELUAR GAK LOH?!"
"Ada apa, Abang? Jangan gangguin adeknya, palingan dia lagi tidur."
Nur datang sambil membawa setumpuk pakaian yang ingin ia cuci di sumur yang terletak di belakang rumah mereka. Tatkala kerongkongannya seperti ada yang menggerogoti, maka ia batuk hingga beberapa kali.
"Ini loh, Bu, Upi gak mau keluar kamar. Mulai dari semalam dia gak mau makan."
Memperlihatkan piring yang hanya di isi nasi dan satu telor ceplok, Agung kembali berujar, "udah rela-relain juga gagal jalan-jalan sama Kiki buat ngurusin Upi yang lagi sakit hati, masih aja dia gak mau keluar kamar."
"Memang adek kamu kenapa? Tanya dulu, barangkali dia lagi punya masalah di sekolahnya."
Sedangkan Kiki tidak ingin angkat suara, dia tipikal gadis yang pendiam, tapi sekalinya bicara menusuk ke ulung hati. Mulutnya pedas, pendiamnya hanya karena ia malas untuk bicara. Tapi, jika sudah lama mengenalnya, ia terbilang lembut dan pemaaf.
Netra Agung turun kala sesuatu terjatuh dari saku salah satu baju yang dibawa Nur.
Mengambilnya, lalu membolak balikkan benda tersebut, mencari tahu pil apa itu.
"Ini pil apa, Bu?"
Kerutan di dahi Nur nampak jelas, dia bergegas meletakkan setumpuk pakaian kotor di atas bangku panjang.
"Ini baju Upi kan, Bang?" tanya Nur memperlihatkan baju kaos tipis berlengan panjang.
"Iya, Bu. Jangan-jangan ini obat Upi? Sepertinya dia memang lagi sakit beneran deh."
"Sini, aku lihat!" ujar Kiki, sebelum akhirnya ia mengerutkan dahi samar setelah Agung memberikan pil tersebut yang di ikat di dalam kantong kresek putih.
"Bukan, ini bukan pil vitamin!"
"Terus? Pil apaan?"
Di dalam hati Kiki, ia bertengkar dengan otaknya, antara mengatakan sebenarnya atau memilih diam saja.
"Ki?!"
Bentakan yang cukup keras itu mengagetkan Kiki, dia termenung beberapa saat hingga ia tak sadar jika sedari tadi Agung terus memanggil namanya.
"Ini .... Obat buat nurunin berat badan. Temanku juga punya pil kayak gini, Celly namanya. Kalo gak salah obat ini ilegal, harganya juga mahal."
Urat-urat di kepala serta leher Agung menegang. Dia melirik Nur sekilas, wanita itu tampak syok mendengarnya.
"UPI, BUKA PINTUNYA. JANGAN SAMPAI AKU DOBRAK SEKARANG JUGA."
Pintu kayu kamar Upi telah retak se perdelapannya akibat tangan Agung yang meninju tanpa henti. Matanya memerah padam, tak mau meredakan emosi.
"Di gudang, Bang, di sana sepertinya ada kunci cadangan."
Mendengar penuturan Nur yang masih memeluk setumpuk pakaian kotor sambil mengusap dadanya demi menenangkan diri, Agung segera bergegas menuju gudang yang bersebelahan dengan kandang ayam Pak Raden. Langkahnya gusar, bahkan Kiki tidak pernah melihat wajah kekasihnya semengerikan barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Ficção AdolescenteKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja