"Bukan, bukan karena mereka! Gue hancur karena ekspektasi gue sendiri yang terlalu tinggi"
Semenjak kedatangan keluarga itu atmosfer di rumah Upi berubah drastis, membawa aroma kaku dan beku. Tak ada lagi kehangatan, kasih sayang, serta kedamaian. Semua benar-benar berubah, yang tertinggal hanyalah Nur yang semakin tidak menyukai Upi.
Menghela napas untuk menenangkan jiwanya yang tidak bisa menyembunyikan rasa lelah, Upi meraih handphone yang tergeletak di atas meja belajar kayu yang dicat dengan warna biru. Di layar ponsel itu tertera nama Agung. Tidak berselang lama suara berat dan gagah dari seberang sana terdengar, memanggil nama Upi berulang kali karena si penelpon tidak kunjung bersuara.
"Kamu nggak papa, kan?"
"Kok diam? Upi? Jawab dong, Abang lagi ada banyak kerjaan ini."
Perlahan, setetes air bening mengalir halus di kedua pipinya yang montok. Upi bingung harus berkata apa. Sangat tidak mungkin jika dia mengadu bahwa Nur telah berubah semenjak kedatangan keluarga baru mereka. Dan tidak mungkin juga Upi menyampaikan kepada saudara satu-satunya itu bahwa dia sedang tidak baik-baik saja, itu akan menambah beban Agung yang sedang kerja banting tulang di perantauan.
Bersusah payah Upi menahan sakit yang membanting hatinya. Memaksa membungkam mulut agar isakan tangis bisa disembunyikan dengan sempurna. Anak perempuan itu batuk beberapa kali utnuk menghilangkan rasa gatal pada kerongkongannya sejak tadi.
Bunyi tut pertanda Upi mengakhiri panggilan. Pandangan cewek itu menatap lurus ke depan, yang mana ada jendela memperlihatkan dunia luar yang nampak bercahaya seperti kunang-kunang yang berasal dari rintikan hujan.
Lalu, atensi Upi teralihkan pada sobekan kertas yang menumpuk di hadapannya, di atas meja belajar. Upi mematikan lampu kamar, sehingga cahaya yang masuk hanya dari jendela yang terbuka serta lampu belajar yang minim cahaya.
Menarik napas dalam-dalam, akhirnya Upi bisa menghentikan rasa sakit di dada yang menciptakan isakan tangis. Dia kuat, dia terlalu cengeng jika menangis terlalu lama. Ada banyak orang yang lebih menderita dari dirinya di luar sana, lantas, kenapa Upi harus merasa manusia paling menyedihkan di muka bumi ini?
"Ini bukan seberapa, Upi! Lo nya aja yang terlalu lebay. Gak usah nangis, gak usah merasa tersakiti, yang penting hati Lo aja yang harus bisa sekuat baja," monolog Upi sebagai bentuk pertahanan untuk hatinya.
Setelah semuanya terasa kembali baik-baik saja seakan tidak ada yang terjadi selayaknya Upi menjalani hari-hari seperti biasa, dengan gerakan hati-hati Upi menyusun sobekan kertas agar bisa ia baca dan menyalinnya di lembaran kertas. Upi terpaksa melakukan ini, meski bukan dirinya yang menghancurkan lembar jawaban Shena, namun Upi tidak ingin memperpanjang masalah, ditambah Nur tidak ikut membela dirinya.
Pandangan anak perempuan dengan rambut terurai itu beralih pada jam yang bergelantung di dinding kamar, menargetkan jam berapa dia akan menyelesaikan salinan. Mengambil kaca mata yang bertengger di atas batang hidung, membersihkan embun di kaca tersebut akibat air mata, lalu mengenakannya kembali. Fokus Upi kini sepenuhnya pada sobekan kertas, jari-jemarinya menyusun dengan hati-hati. Masalahnya sobekan kertas tersebut terlalu kecil, jadi cukup sulit untuk membaca kalimat serta angka-angka yang tersusun di dalamnya.
Sebenarnya, Shena sudah memberikan lembaran soal yang menjadi persyaratan untuk mengikuti olimpiade yang akan diselenggarakan diluar kota, tapi masalahnya Upi tidak pintar, dia tidak ahli matematika, dia awam, bahkan tidak mengerti meski pelajaran anak SD.
Dengan berat hati serta mata yang sudah lelah, Upi terus melanjutkan pekerjaannya tersebut. Menyalin angka-angka yang terasa sakit ketika dipandang. Menyusunnya saja sudah memakan waktu setengah jam, entah jam berapa nanti Upi tidur jika dia harus menyalin semua teks dalam sobekan kertas itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja