Chapter 27

882 124 19
                                    

"Jadi, seperti ini isi rumah Lo?" tanya Kevin dengan pandangan yang menjelajah. Sekali lagi dia meminum teh hijau tanpa gula yang sudah disediakan Upi untuknya di atas meja. Sebentar Upi melongo ketika teh hijau tersebut telah habis tidak tersisa. Seingat Upi dia membuat teh tersebut dari air yang baru saja mendidih. Entah terbuat dari apa lidah serta tenggorokan Kevin.

"Ho'oh! Kenapa? Lo bertanya kayak lagi merendahkan gitu yah?!"

Kevin tersadar. "Enggaklah! Maksud gue, rumah Lo unik, nyaman, auranya beda, dan gue suka."

Upi mencibir. Membuang muka malas. "Alasan. Mentang-mentang Lo kaya."

Senyum singkat terbit dari bibir Kevin yang berbekas luka. Masih ada noda darah segar di ujung bibir cowok itu. "Siapa yang bilang kalo gue kaya, justru gue miskin."

Satu alis Upi terangkat, memberi kode bahwa ia tidak mengerti maksud cowok itu.

"Gue miskin kebahagiaan, Upi, miskin kasih sayang. Gue nggak punya siapa-siapa."

Sejenak hening menyelimuti keduanya, memaksa Upi memilih memetik kuku-kuku jarinya dengan kasar saat menyaksikan netra cowok sang pemilik mata tajam dihadapannya.

"Tidak selamanya kekayaan selalu diukur dari harta. Sesekali Lo harus bandingin kebahagiaan Lo saat berkumpul bersama keluarga, dengan kebahagiaan ketika Lo bisa membeli barang-barang brended yang Lo suka. Gue justru malah merasa jengkel melihat anak yang bertengkar hanya karena masalah harta warisan, padahal, tanpa mereka sadari menjadi kaya itu sebuah penyiksaan."

Di siang hari itu, entah mengapa hujan tiba-tiba turun, panas mentari hingga menimbulkan fatamorgana di jalanan telah lenyap diguyur hujan. Debu-debu beterbangan setinggi lutut orang dewasa, kini telah menjadi lumpur. Tanpa kita sadari, ada manusia yang bersyukur bagi yang sedang membutuhkan air.

"Tapi, buktinya gue nggak bahagia, Vin. Mendiang Bapak punya hutang sama rentenir. Bapak meninggalkan kami karena kami nggak punya uang buat bawa beliau berobat. Gue sering terbangun tengah malam gara-gara dengar Ibu nangis di kamar. Ibu sering dibentak, dicaci maki, di injak gara-gara nggak bisa bayar hutang. Hati gue sakit, teriris, perih, Vin, saat semua orang memperlakukan Ibu seenak mereka sendiri. Keluarga kami terpandang rendah, membuktikan kalo emang harta itu bisa merubah kebahagiaan."

Hampir air mata itu lolos, menetes di atas lantai semen andai Kevin tidak menawarkan pengganti tissue, yang tidak lain pengganti tissue itu tangan besar Kevin sendiri.

"Nggak usah sok nangis segala. Cengeng amat, kayak udah orang paling menderita aja loh."

Upi cemberut, sedangkan Kevin hanya tersenyum puas.

"Nanti! Lo akan tahu kebahagiaan yang sesungguhnya." Kevin berkata sambil menatap Upi serius dengan kedua tangan saling bertaut.

Upi yang tidak mengerti hanya melemparkan pertanyaan, "apa?"

"Setelah Lo duduk bersama gue di pelaminan." Senyum puas dari bibir Kevin membuat hati Upi cenat cenut, antara malu dan baper, entah bagaimana Upi mengekspresikan dirinya saat ini. Baginya Aga dan Kevin tidak ada beda, sama-sama penggoda namun buaya.

"Nggak usah susah-susah ngegombal. Gue sadar diri kok, kalo gue terlahir untuk tidak disukai oleh banyak orang."

"Justru gue bangga sama Lo. Jarang-jarang gue bisa ketemu sama cewek seunik Lo."

"Unik?"

"Hmm! Jadi diri Lo itu menyenangkan!"

Upi tertawa hambar. Dia tahu, ketika orang lain memujinya, dia harus siap untuk dihempaskan. "Jadi diri gue nggak menyenangkan, Vin. Tidak ada mimpi yang ingin gue capai, tidak ada masa depan yang ingin gue raih, serta tidak ada cinta yang ingin gue jaga."

Manusia Berisik✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang