"Menurut Lo Shena kenapa yah, Dit? Kayaknya dia emang benar-benar lagi marah deh sama gue. Biasanya kalo dia lagi bercanda pasti endingnya dia ketawa, tapi ini enggak."
Sejak Bu Lele memasuki kelas, kerjaan Upi hanya berpikir perkara kenapa Shena berubah, bukan malah menggunakan otaknya untuk menjawab soal-soal mengerikan yang ada di papan tulis.
"Nggak tau juga. Dia nggak biasanya kayak gitu."
Tangan Radit sibuk menulis di atas buku tanpa menoleh ke arah cewek gembul disampingnya sedikitpun. Tidak, Radit bukanlah siswa teladan yang sedang berusaha memecahkan rumus-rumus yang ada di depan sana. Dia sedang menyelesaikan karya seninya sejak jam pelajaran pertama.
"Gue berpikir seribu kali pun tetap aja gue nggak tau apa salah gue. Biasanya pacar Lo itu kalo lagi badmood berarti kita punya salah sama dia. Tapi apa Dit? Bantuin gue cari tahu dong kenapa Shena marah, kalo enggak Lo mau punya teman botak gara-gara rambut gue rontok semua?!" Ucap Upi mendramatiskan suasana.
Radit menghela napas cukup panjang. Perkara Upi yang tidak ada hentinya menusuk-nusuk lengan Radit menggunakan bolpoin.
"Seneng banget ya Lo buat gue semakin jengkel sama Lo. Seragam sekolah gue cuma satu Upi, jangan Lo tusuk-tusuk kayak gini dong, kan jadi kotor lengan baju gue."
"Makanya bantu gue berpikir kenapa Shena marah sama gue, jangan cuma asik bengong aja Lo."
Radit berdecak kecil. Ekor matanya mengikuti Bu Lele yang berjalan pontang-panting memeriksa tugas siswa yang lain. Jangan sampai Radit ketahuan jika ia sedang berbicara sama Upi.
"Siapa juga yang bengong, gue lagi berusaha menyelesaikan karya seni gue," ujar Radit sambil menunjukkan buku tulis miliknya, di mana coretan-coretan abstrak membentuk wajah Upi tertulis bersamaan dengan ikan buntal berduri.
"Ih, ngeselin banget Lo Dit," umpat Upi. Belum selesai ia berteriak Radit segera membungkam mulut cewek itu.
"Jangan berisik dong buntal, nanti kita kena hukum lagi. Emang Lo mau disuruh cium kaos kaki gue, kalo gue sih ogah nyium kaos kaki Lo yang baunya kayak terasi."
Upi menatap nyalang. Radit selalu berhasil meruntuhkan kesabaran Upi.
"Btw, gue takut Upi!"
Tiba-tiba raut wajah Radit berubah. Yang tadinya seperti anjing gila kini berubah layaknya koala.
"Kenapa Lo? Takut di santet?"
"Gue takut sama keadaan Shena yang semakin parah. Kemarin gue temani Shena ke dokter untuk check-up, dokter Arnold bilang kanker Shena sudah mencapai stadium dua."
Kepala cowok itu tertunduk. "Tiap malam gue bermimpi buruk Upi, mimpi yang membuat gue semakin takut kehilangan Shena. Selama ini gue pura-pura kalo gue nggak terlalu mikirin penyakit Shena supaya Shena berhenti nyuruh gue untuk tidak mengkhawatirkan dia. Tapi sekarang, gue semakin kacau mengingat Shena harus menanggung beban seberat ini. Di mana om Daka sama tante Nita udah resmi bercerai."
Upi mendekat, mengangkat bangkunya semakin menyentuh Radit. "Cerai? Kapan? Kenapa gue gak tau?" bisik Upi serius.
Radit hanya mengangguk singkat. Dia tidak bisa menyembunyikan betapa ia tidak bisa tidur mengingat Shena sewaktu-waktu bisa pergi meninggalkannya. Sudah terlalu banyak kenangan, sudah terlalu banyak hal indah dilalui. Suara tawa tak bisa pudar, senyum Shena sudah menjadi bayangan indah di setiap Radit menjalani pagi.
"Sekarang gue yang harus bertanggung jawab menjaga dia. Tante Nita tidak pernah peduli sama Shena, dia terlalu dibutakan rasa cemburu. Kebahagian Shena sekarang ada ditangan gue. Cuma gue satu-satunya orang yang belum pernah dan tidak akan pernah mengecewakan dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja