Chapter 36

1K 172 8
                                    



Aroma subuh menyeruak dari sela-sela jendela. Sepagi ini gadis dengan seragam sekolah itu sudah bersiap untuk menjalani hari. Jari Upi mulai memperbaiki kacamata besarnya yang perlahan melorot dari batang hidung. Dia menarik napas dalam, menikmati aroma sejuk untuk membersihkan paru-paru.

Ayunan langkah ringan terus berlanjut hingga berhenti tepat di pintu kamar yang mana di dalamnya ada saudari tirinya yang masih berdamai dengan mimpi. Tanpa mengetuk pintu anak perempuan itu berjalan masuk dengan langkah yang tak terdengar. Pertama kali masuk, puluhan trofi, medali, serta piagam menyambut Upi hingga menumbuhkan rasa cemburu di hati.

Ini kamarnya, lantas mengapa Shena menempatinya seakan seperti miliknya sendiri? Upi gagal untuk menahan diri agar tidak memberontak, tapi lagi-lagi dia hanya bisa memberontak kepada dirinya sendiri, menelan bulat-bulat rasa dendam yang perlahan mulai menyebar.

Di ambang pintu dirinya terdiam lama. Menjelajah kan pandangan pada setiap penghargaan milik Shena. Juara 1 olimpiade matematika. Trofi kemenangan karate setinggi 9 inci. Beberapa medali digantung di paku timbul berdekatan dengan meja belajar, benda bulat itu kian memantulkan cahaya indah.

Upi ingin seperti mereka, orang-orang berprestasi dengan IQ yang tinggi. Punya bakat yang menjadikan mereka dikenal dan disanjung.

Kini, hanya kata andai yang menjadi senjata anak perempuan malang itu. Andai dirinya pintar seperti mereka, mungkin Nur akan bangga. Andai Upi cantik seperti mereka, mungkin orang-orang kejam dan mengerikan diluar sana tidak akan menjadikan dirinya sebagai bahan bully-an. Andai Upi kaya, mungkin orang-orang tidak akan mudah menjatuhkan harga dirinya. Dan andai Upi sempurna, mungkin Aga tidak akan pernah meninggalkannya. Meski sebenarnya, tidak ada yang sempurna selain kata indah sebagai gantinya.

Hanya dari sudut pandang Upi saja. Dirinya selalu berpikir bahwa dia tidak seberuntung mereka. Bagi Upi, cemburu dan rasa iri adalah penyakit paling berbahaya, karena seberapa keras pun ia berusaha untuk menjadi manusia yang bersyukur, kebanyakan dirinya selalu gagal.

Menghela napas panjang, Upi melangkah ragu menuju meja belajar. Meletakkan dengan hati-hati kertas jawaban sebagai syarat untuk menjadi peserta olimpiade. Sekali lagi Upi memandang puluhan trofi yang berjejer rapi, hingga hantaman rasa sakit menghancurkan hatinya yang lunak.

Sekarang Upi tau, mengapa Aga lebih pantas untuk Shena. Mungkin benar, sadar diri lebih baik sebelum menerima luka lebih lebar. Mendengar Shena bercerita tentang masa lalu di mana dia sudah lama memimpikan Aga, Upi semakin yakin jika cewek ahli bela diri itu benar-benar membencinya sekarang. Bukan kemauan Upi untuk saling memperebutkan cowok seperti Aga, tapi jauh di lubuk hati, Upi tidak bisa melepaskan teman masa kecilnya itu begitu saja.

Sebelum berangkat ke sekolah di pagi buta, Upi berniat menghampiri Nur sekedar berpamitan. Sepertinya, wanita dua anak itu sedang berdiam di atas sajadah untuk mengerjakan shalat subuh.

Sesampainya di kamar sang Ibu, benar saja, kedua tangan Nur sedang terangkat sebelum telapak tangannya menyentuh permukaan wajah untuk mengaminkan harapan, melangitkan doa baik berharap Tuhan segera mengabulkan.

Pandangan Upi teralihkan pada benda kecil yang berserak di samping tempat tidur. Upi mendekat ragu, lalu berdiri mematung saat mengetahui benda yang menarik perhatiannya adalah celengan yang sudah pecah.

Sementara itu, Nur baru saja melipat sajadah, cukup terkejut atas kedatangan Upi tanpa mengucap salam atau mengetuk pintu. Lebih terkejutnya lagi cewek dengan rambut terurai itu sudah rapi di pagi buta seperti ini.

Manusia Berisik✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang