Kecewa! Tidak terima dengan takdir yang diberikan Tuhan. Memang benar Upi ingin memiliki saudara perempuan seperti Shena, tapi bukan seperti ini jalan ceritanya.
Setelah mematung cukup lama, Upi memamerkan senyum hambar dari bibirnya. Dia mendesis pelan, meratapi kepedihan hidupnya.
"Kenapa Lo ada di sini, Shen?" Tanya Upi sambil berusaha menahan dirinya sebisa mungkin. Iya, mereka tamu yang harus dihormati, tapi rasa sesak di dada membuat Upi ingin mengusir mereka sekarang juga.
Gadis yang ditanya tidak menjawab. Dia asik memainkan handphone dan mengacuhkan disekitarnya.
"Duduk dulu, nak, supaya kita bisa membicarakan ini baik-baik." Nur menepuk kursi kosong di sebelahnya beberapa kali.
"Kenapa mereka ada di sini, Bu?" Tuntut Upi, berharap apa yang ada di pikirannya saat ini tidaklah benar.
Daka beranjak mendekati Upi, namun Upi memilih menjauh seakan Daka adalah sosok yang hendak menyakitinya.
"Nak, Papa tahu kamu belum bisa menerima Papa. Papa tahu ini sulit untuk kalian berdua, tapi kamu dan juga Shena harus menghargai keputusan orang tua kalian."
Upi semakin tersenyum kecut, dia terkekeh, menertawakan alur cerita yang mengerikan ini. "Papa? Sejak kapan kamu jadi Papa aku? Hah?"
"Upi!"
Bentakan itu membuat Upi menoleh. Nur melemparkan tatapan yang tidak seperti biasanya. Sisi lembut dari ibunya telah menghilang.
"Jaga ucapan kamu. Sejak kapan Ibu mengajarkan kamu berbicara tidak sopan kepada orang yang lebih tua. Kamu tidak ada hak melarang ibu ini itu. Bisa tidak kamu menghargai keputusan ibu sekali ini saja?"
Ibunya benar-benar berubah. Janji yang dia ucapkan untuk tidak mengecewakan Upi kini tidak lagi berlaku.
Tidak ada lagi tanggapan dari Upi ketika cewek itu memilih meninggalkan dapur dan memasuki kamarnya. Mengabaikan seruan panggilan Nur dan Daka. Kedua orang tua itu benar-benar tidak tahu, betapa putri Putri mereka sangat terpukul menerima takdir ini.
Di ruangan sunyi itu, Upi terbaring di kasur. Menatap langit langit kamar. Mencari tahu letak kesalahannya sehingga Tuhan menghukum dirinya sejauh ini.
Menyingkap tirai jendela, memperlihatkan dunia luar. Memandangi daun-daun pohon mangga yang berjatuhan. Upi merindukan Ayahnya ketika lelaki tua itu menggendong tubuh Upi di atas pundaknya yang bungkuk dan tak lagi kekar.
"Bapak bilang, Upi adalah tumbuhan dan Bapak itu air hujan. Menjadikan Upi tumbuh, terawat, memberikan kasih sayang dan cinta kepada Upi. Bapak bilang, Bapak akan turun kala Upi sudah sangat kering, atau bahkan hampir mati. Tapi, di mana? Upi tidak menemukan Bapak, padahal di sini Upi sudah tidak sanggup lagi dengan takdir Tuhan."
Helaan napas terdengar berat. Upi memilih kembali berbaring di kasur. Mematikan lampu kamar. Membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. Bersiap-siap menerima hari esok yang lebih menyakitkan.
Paginya Upi terbangun. Hari libur membawa Upi terus terbuai ke alam mimpi hingga pukul 9 AM. Udara menyeruak membawa aroma hangat akibat matahari perlahan mulai naik.
Mengucek sepasang mata, samar-samar Upi melihat kamarnya yang berantakan. Begitu pengap, terlihat lebih sempit dari sebelumnya akibat barang-barang bertumpukan di sana. Mulai dari lemari, boneka besar, tumpukan buku dan bingkai foto, serta baju-baju di atas nakas.
Upi keluar dari kamar bersusah payah akibat pintu terhalang oleh lemari minimalis perpaduan warna emas dan merah muda.
"Kenapa ada banyak barang-barang di kamar Upi, Bu?" Tanya Upi kepada wanita yang tengah menyapu ruang tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja