Senyum terus merekah padahal masih terlalu pagi. Atensi Upi tidak teralihkan dari bunga matahari indah yang terpampang jelas di dekat jendela. Sangat menakjubkan, yang mana embun membasahi jendela kayu yang terbuka, memperlihatkan langit yang kian jauh tak tergapai.
Upi menghela napas cukup panjang. Aroma subuh memang nikmat yang tak boleh terlewatkan.
Dia menyesal karena tidak menghadiri pernikahan Ustadz Agam waktu itu. Hari itu Upi benar-benar cemburu, dia tidak berhenti menyalahkan takdir yang memaksa dirinya untuk melupakan Agam. Rasa jengkel menggerogoti hati Upi. Sehingga Upi memilih menutup matanya untuk menyaksikan hari kebahagian Agam dengan wanita lain yang jauh lebih indah dari Upi. Memang tidak berdarah, namun luka sayatannya cukup dalam.
Sekarang Upi mengerti, cinta Ustadz Agam kepada dirinya hanya sebatas saling menyayangi sebagai makhluk Tuhan. Tapi tidak apa-apa, Upi sekarang lebih sadar diri dan lebih mudah menerima kenyataan.
Upi rindu sosok Agam, namun ia harus sadar jika lelaki itu telah berumah tangga.
Upi beranjak malas dari bangku belajar. Sepagi ini gadis itu sudah memakai seragam sekolah yang rapi. Tidak seperti hari biasanya. Di mana Nur hampir gila membangunkan Upi yang tidur pulas seperti batu.
Mungkin, mimpi buruk semalaman yang membuat Upi terbangun secepat ini.
Upi cukup terkejut saat ia membuka pintu kamar.
"Ibu dari mana?"
"Dari pajak Upi, emang kamu tidak lihat Ibu bawa belanjaan sebanyak ini? Nggak mungkin kan kalo Ibu dapat dari kebun tetangga," ujar Nur sambil memperkuat genggamannya pada tiga kantong kresek hitam yang cukup besar.
"Oh iya, nanti pulang sekolah kamu jangan kemana-mana. Bilang sama nak Aga buat antar kamu pulang ke rumah. Kamu harus bantuin Ibu masak buat menu makan malam kita nanti."
Kening Upi semakin berkerut jelas. Tidak biasanya orang tua itu berbelanja sebanyak itu. Ditambah ini hari Senin, yang mana di hari biasa Upi hanya bisa mencicipi tempe goreng, telur rebus dan juga terasi---salah satu makanan mematikan dalam hidup Radit. Upi bisa menyantap hidangan lezat pasti hanya di hari sabtu dan Minggu, itupun hanya makan malam biasa yang ditemani ayam klasan serta tumis kangkung.
"Buat apaan sih Bu belanja sebanyak ini? Bang Agung udah nggak di rumah lagi. Kalo cuma aku sama Ibu yang makan, nggak bakalan habis. Ujung-ujungnya juga pasti mubazir."
Meletakkan barang belanjaannya di atas lantai semen, Nur menepuk salah satu pundak Upi cukup pelan.
"Nanti malam kita punya tamu. Ibu harap kamu bisa membuka hati untuk keluarga baru kita. Ibu tahu kamu belum bisa menerima keputusan Ibu, tapi setidaknya kamu harus bersikap sopan nanti. Kamu sudah dewasa nak, jadi Ibu tidak perlu lagi mengajarkan tentang bagaimana bersikap baik terhadap tamu."
Upi terdiam cukup lama, menyelami netra wanita dihadapannya. Mencari tahu apakah masih ada cinta yang tersimpan di hati wanita itu untuk mendiang Ayahnya.
Upi memilih pergi, tidak mengucapkan salam bahkan tidak berniat menyalim tangan orang tuanya. Upi kecewa. Dia berpikir bahwa Nur telah menenggelamkan kenangan yang telah diberikan Ayahnya selama beberapa tahun lamanya.
🍩🍩🍩
Riuh Pikuk kantin tercipta dari mulut siswa siswi SMA Garuda yang tak bisa diam. Di meja paling tengah, Upi sedang bercerita panjang lebar. Ada Aga, Radit, dan... Shena.
Upi membawa bekalnya sendiri, hanya potongan sayur dan buah. Takut bakso bulat atau bahkan nasi goreng membuat perutnya semakin buncit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja