"Ustadz ... Ustadz Agam mau menikah?"
Napas Upi memburu, semua mata tertuju pada gadis itu termasuk Agam. Nur menyentuh dada, ia terkejut dengan kedatangan Upi yang secara tiba-tiba.
"Astaga Upi, ngagetin aja kamu!" ujar Agung.
Dua sudut bibir Agam terangkat tinggi, masih sama, senyum Ustadz Agam tidak pernah berubah. Bisa meruntuhkan iman Upi untuk menahan diri mencintai Ustadz Agam.
Upi duduk bergabung setelah meneguk air di dapur.
"Apa benar Ustadz mau menikah? Calonnya siapa Ustadz? Kenapa tiba-tiba sekali?"
"Iya Upi. Alhamdulillah Allah sudah membukakan jodoh untuk saya."
Sorot mata Agung tidak teralihkan dari saudarinya yang gembul itu, dia menatap horor. "Ngapain kamu heboh gitu, bukannya wajar kalo Agam menikah, usianya sudah matang untuk berumah tangga."
Upi cemberut, hatinya berdenyut sakit. Sebelumnya dia tidak pernah membayangkan jika Ustadz Agam akan menikah dan meninggalkan kenangan yang sudah ia lalui bersama Upi. Fakta mengejutkan menyadarkan Upi, jika ia memang tidak pantas untuk lelaki siapapun, termasuk Ustadz Agam yang derajatnya lebih tinggi.
Tanpa meninggalkan sepatah katapun Upi memilih masuk kamar kembali. Ayunan langkah cewek itu lesu, membuat Agam, Nur dan juga Agung tidak mengerti atas tingkah anehnya.
"Kenapa? Kenapa Ustadz Agam harus menikah secepat itu?" Upi memukul-mukul bantal dengan kepalan tinju. Dia terisak tertahan agar tidak terdengar sampai di ruang tamu.
"Ustadz Agam masih muda, harusnya dia nunggu aku. Nggak mungkin juga aku bisa menandingi wanita suci kayak Syazani. Dia cantik, bening, ilmu agamanya bukan main-main, mana dia juga putri dari Haji Hasyim, salah satu orang terpandang di kampung ini. Lah aku, satu pun aku tidak memilik kelebihan yang dia miliki."
Upi bersembunyi di balik selimut, menyeka air mata yang keluar secara tiba-tiba. Upi sadar diri, dia memang tidak pantas untuk disandingkan dengan pemuda Sholeh seperti ustadz Agam, tapi, apa salahnya jika dia meminta kepada Tuhan.
Kenangan silam itu yang membuat Upi merasa hatinya retak hingga tak tersusun kembali. Dia sesenggukan di dalam kamar hingga terdengar seperti tangisan kuntilanak.
Hingga setengah jam lamanya, Upi tidak bosan dengan aktifitasnya yang baru. Menyalahkan diri yang tidak sempurna seperti mereka. Bahkan kata andai akan menjadi senjata. Andai Upi cantik, andai Upi paham agama, andai Upi cerdas dan andai Upi kaya hingga derajatnya tidak serendah ini di mata manusia.
Upi menghentikan tangis ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya bersamaan dengan suara nyaring seseorang memanggil manggil nama Upi.
"Kamu dengar nggak sih Upi ... Bukain dong ..." Paksa Agung.
Setelah menyeka air mata, Upi beranjak membukakan pintu. Kamar cewek itu tidak terlalu luas, hanya bisa ditempati satu ranjang tidur, satu lemari kecil serta jendela dua pintu dengan aroma kayu jati.
Di langit-langit kamarnya terdapat ratusan bintang kecil buatan, kala malam tiba, bintang itu akan bercahaya jika lampu dimatikan. Bersinar indah layaknya Sirius asli yang berkedip di malam hari. Memancarkan cahaya putih biru sebagai penyemangat bahwa Upi, dan semua orang layak untuk bersinar terang.
"Ada apa, Bang?" tanya Upi setelah membuka pintu, dia sudah memakai kacamata bulat miliknya agar mata Upi yang bengkak akibat menangis terlalu lama tidak nampak jelas.
"Agam nyariin kamu tuh, dia udah nunggu diluar. Aku bilang sampaikan ke aku aja dianya gak mau, harus ngomong langsung sama kamu. Buruan sana, Agam mau cepat-cepat pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja