"Lo pasti muntah darah punya pacar kayak gue kan, Ga. Udah gak putih, gak bisa diem lagi, plus gak ahli masak. Cewek kayak gue memang pantas di hujat."
"Ya iyalah, Upi nya Aga kan bukan ricekuker!" balas Aga santai.
"Gue serius Aga!" Berjalan mengikuti langkah Aga yang tengah mendorong sepeda motornya. Untuk kesekian kalinya berat badan Upi lah pelakunya, membuat mereka berakhir terlambat ke sekolah.
"Lagian siapa bilang Lo gak putih, mau seputih apa lagi baru Lo bisa bersyukur. Seputih kapur? Apa seputih kain kapan biar tubuhnya dibungkus sekalian."
Upi berdecak kesal. Bersusah payah dia membawa dua rancel miliknya dan milik Aga. Satu ia taruh di depan dada sedangkan satu lagi di belakang punggung.
Matahari mulai menyapa, mengobarkan panas memberikan tanda bahwa jam sudah menunjukkan setengah sembilan. Dan kedua sejoli di pinggir jalan itu tidak ada takut-takutnya.
Keringat membanjiri seragam Upi. Berhubung dia manusia yang berhati mulia, dia ikut membantu mendorong motor meski beberapa kali mendapat Omelan Aga untuk menyuruh Upi tidak usah membantunya.
Sesampainya di sekolah, kedua sejoli itu meneguk saliva masing-masing dengan berat. Lelaki berkumis tebal dengan seragam satpam itu tengah menatap nyalang mereka.
Mereka mendekat was-was, namun Pak Satpam malah semakin mengawasi dengan ketat. Jangan sampai dua siswa bandel itu lolos---pikirnya.
"Yaelah Pak Ridwan! Kalo ingatan Bapak masih berfungsi keknya saya pernah deh ngasih sebungkus pecal lele buatan Emak saya."
"Terus kalo memang pernah saya harus apa? Hah? Bukain pintu pagar buat kalian?"
Aga mengangguk semangat sambil nyengir, sedangkan Upi yang memang sedari tadi merasa lelah setelah berjalan menempuh jarak berkilo-kilo memilih menyeruput es teh manisnya.
"Maaf ya, Aga, kebaikan kamu nggak Bakalan nyelamatin kamu dari hukuman. Saya hanya ingin menjalankan kewajiban. Kalo gak mau terlambat ke sekolah makanya bangunnya jangan kesiangan."
Aga mengibas-ibaskan leher baju sekolahnya, langit yang semakin cerah membuat suasana semakin gerah, belum lagi sepeda motor menyebalkan di samping Aga, hampir saja Aga memilih melempar benda tak berguna itu ke tempat barang rongsokan.
Es teh manis di genggaman Upi sudah habis. Dia yang tadi tidak ambil pusing persoal mereka yang tidak di izinkan masuk kini mulai beraksi. Beginilah Upi, selagi ada makanan atau minuman, dia tidak akan peduli dengan keadaan disekitarnya.
Tubuh gembul nya mendekat, terlihat bulat bagaikan buntal seperti yang dikatakan Aga. "Pak Ridwan gak lihat kalo kita lagi dorong sepeda motor? Jam tiga saya udah bangun loh, Pak, kita terlambat gara-gara si jelek ini nih," perjelas Upi sambil menampar kasar bagian kepala motor Aga.
"Ih jangan gitu loh, Upi, si hitam ini satu-satunya teman yang gak akan ninggalin gue." Aga mengelus bekas tamparan Upi.
Mungkin, kebanyakan orang akan berpikir Aga terlahir dari keluarga tidak mampu, namun nyatanya jika Aga meminta kepada Ayahnya yang bekerja di luar kota, jangankan tiga motor baru, mobil merek Ferrari pun mampu orang tuanya beli. Namun itulah Aga, dia suka yang sederhana, jika tidak, mana mau lelaki dengan tampang rupawan itu menjadikan Upi sebagai bagian dari kisah cintanya.
Yah... Masih bagian.
Bagi Upi, keluarga Aga merupakan keluarga yang terdampar di kampung mereka. Harta yang melimpah membuat orang-orang merasa segan bersosialisasi dengan mereka. Lain halnya dengan Upi, jangankan remaja di kampungnya, bahkan anak-anak, bapak-bapak, sekumpulan emak-emak dan juga nenek-nenek sekalipun sangat suka bergaul dengan Upi. Cewek itu memang paling ahli bercerita, tahu batas wajarnya dan tahu betul dengan siapa ia berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja