Tiga Minggu berlalu dengan hidup yang semakin terasa jenuh. Ujian Nasional akan berlangsung sekitar dua bulan lagi, namun Upi masih dengan kapasitas otaknya yang tak seberapa. Dia tidak bodoh, hanya kurang di asah. Upi juga tidak malas, hanya butuh support dari orang-orang terdekatnya saja.
Kala itu, mentari bersinar terang menembus tirai kecil warna putih yang menggantung menutupi setengah jendela. Sedangkan di atas kasur tunggal anak gadis dengan tubuh yang terlihat semakin kurus itu masih telentang sejak beberapa menit yang lalu sambil memandangi bintang buatan di langit-langit kamarnya yang tak lagi memantulkan cahaya akibat dikalahkan oleh sinar mentari asli.
Upi tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya mengingat Shena sudah kembali ke rumah mereka dan berakhir Upi kembali menempati kamar yang sudah lama ia rindukan akan aroma atau bahkan suasananya. Rasa lega akan kepergian Shena adalah hari yang dia tunggu-tunggu. Namun, Upi harus dibuat kembali murung ketika Nur akan menikah dengan lelaki yang hadirnya tidak pernah Upi inginkan. Seberapa keras pun Upi mengalahkan takdir, tetap saja tidak ada yang berubah jika Tuhan sudah berkehendak.
Upi bangkit dari ranjang, berjalan menuju timbangan dengan tubuhnya yang semakin hari semakin terasa ringan. Saat dirinya sudah berdiri di atas benda kecil itu, jarum merah berhenti tepat di angka 47. Kali ini Upi bisa memecahkan rekor baru, dengan menurunkan berat badannya 10 kilogram dalam waktu 1 Minggu.
Upi puas? Tidak, anak perempuan dengan warna gelap di bawah matanya itu masih mempertahankan acara dietnya dengan cara tidak makan seharian, dia juga tidak lupa meminum obat-obatan meski mengancam kesehatannya.
Malam kemarin itu adalah malam yang tak seharusnya terjadi. Dunia Upi harus runtuh melihat kebahagiaan yang seharusnya dia dapatkan justru beralih kepada Shena. Upi cemburu ketika Aga datang berkunjung ke rumahnya namun Shena lah yang ingin dia temui. Waktu itu, tawa Nur, Aga, Shena dan juga Daka adalah luka baru yang harus ia terima.
Di bangku panjang paling pinggir, Upi terdiam kaku sambil menunduk meratapi sepasang kakinya. Saat itu Nur sedang bahagia ketika ia mendengar Daka akan mengatur pernikahan mereka, begitu juga dengan Shena dan Aga yang katanya saling mencintai akan menyusul setelah lulus nanti.
Upi takut dia termasuk orang egois, tapi bagaimanapun juga Upi tidak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa tawa mereka adalah sebuah kehancuran baginya. Bukan hanya jiwa Upi saja, tetapi juga mimpi-mimpinya.
Upi terlihat tak layaknya gadis bodoh diantara mereka, seperti oknum yang tak diinginkan di hangatnya perbincangan malam itu. Tidak ada seorangpun yang mengerti dirinya, tentang Upi yang masih menginginkan Aga di sampingnya, tentang Upi yang butuh cinta, serta tentang Upi yang butuh support kini telah hampir menyerah.
Anak perempuan itu sering bertanya di dalam hati, mengapa? Mengapa harus kebahagiaannya yang direbut, mengapa tidak ada seorangpun yang bisa dijadikan sebagai sandaran ketika Upi benar-benar membutuhkan seseorang. Hari-hari Upi kini dipenuhi dia yang berbicara kepada dirinya sendiri. Meratapi setiap luka yang menghantam dada secara bertubi-tubi.
Pandangan Upi beralih pada es batu di dalam wadah cukup besar yang diletakkan di atas nakas. Jendela yang terbuka dengan sengatan mentari menjadikan es batu tersebut perlahan mulai mencair.
Tangan Upi mulai berperan meraih wadah berwarna hijau tua itu, mengambil bongkahan es batu satu persatu lalu memasukkannya ke dalam mulut. Suara retakan terdengar memenuhi setiap sudut kamar saat gigi anak perempuan itu saling beradu menggigit benda dingin tersebut.
Suara nyaring ikut mendominasi saat ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas kasur berdering. Cepat-cepat Upi meraih ponselnya dan menemukan nama Kevin di sana. Wajah cowok itu pun tampak memenuhi layar HP saat Upi menerima panggilan Videocall.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja