Napas memburu, seakan paru-paru tidak lagi bisa menerima oksigen dengan baik. Keringat Upi habis bercucuran seakan dirinya tengah berdiam diri terlalu lama di dalam sauna. Sudah jam lima sore, namun panas mentari tak kunjung pudar.
Upi kewalahan membawa tubuhnya yang gemuk berlari mengitari lapangan yang terletak di belakang rumah sahabat barunya. Semulanya Upi tidak berpikir, jika lapangan yang harus dia kelilingi bisa seluas ini.
Di genggaman cewek itu sudah ada handphone dengan aplikasi yang menyala untuk menghitung sudah berapa kalorinya terbakar. Sorot mata Upi menatap sayu pada Akila yang berjarak cukup jauh dengan dirinya. Terlihat jelas di mata Upi, jika cewek itu nampak mudah mengangkat tubuh rampingnya. Seperti model Thailand. Indah dan menakjubkan.
Upi iri? Tentu saja! Tapi, jauh di lubuk hatinya, dia tidak pernah tertarik menurunkan berat badan jika bukan ambisinya yang kuat untuk merebut Aga kembali. Kali ini Upi tidak ingin bergantung pada kalimat "mengalah bukan berarti kalah" tapi sekarang Upi ingin mempertahankan kalimat "mengalah berarti kalah".
Di tepi lapangan ada bangku panjang warna putih untuk tempat beristirahat jika sudah lelah. Namun, sudah ada Arka dan juga Arkan dengan kehebohan mereka mengangkat tinggi-tinggi poster black pink. Berharap mimpi Upi untuk menjadi langsing akan segera terwujud.
"Semangat, Upil, gue yakin Lo pasti bisa!"
Arkan yang sibuk menunjukkan poster sambil menyantap permen kakinya menatap heran saudara kembar yang duduk berdampingan dengan dirinya. "Upil?"
Mendengar pertanyaan singkat itu tidak membuat Arka mengalihkan pandangan, sorot matanya sibuk menyemangati Upi dari kejauhan. "Ho'oh, nama diakan Upil!"
"Semangat, Upil, semangat! Jangan nyerah, Lo cewek yang kuat!" Lanjut Arka.
Sedangkan Arkan dengan kepolosannya mengangguk antusias sambil tersenyum senang. Pada akhirnya dia ikut memanggil cewek itu dengan sebutan Upil. "Nama yang bagus!" Monolognya kemudian dengan perasaan takjub.
🍩🍩🍩
Tubuh Upi ambruk di tengah-tengah lapangan. Matanya menatap lelah pada langit yang kini memancarkan cahaya emas keperakan dengan pandangan kabur. Napas cewek itu memburu, dadanya kembang kempis dalam waktu yang cepat.
Dengan gerakan malas dia berusaha menyeka keringat di dahi. Baju sekolah yang masih dipakai esok hari telah basah akibat keringat. Upi tidak habis pikir, ternyata lari dalam jangka waktu setengah jam bisa hampir membunuh dirinya. Gumaman takjub keluar dari bibir Upi kepada mereka yang suka ikut lomba maraton. 100 meter saja dia sudah tepar, bagaimana dengan 42 kilometer lebih?
Arka dan Arkan berlari menghampiri Upi. Akila yang merasa berlari sendirian akhirnya menoleh ke belakang, dan benar saja, sosok yang dia tuntut untuk mengikuti dirinya sudah jauh tertinggal.
"Lo nggak papa?" tanya Arkan khawatir. Dia hanya takut tiba-tiba Upi mati dan dirinya berakhir di dalam penjara. Arkan memang seperti itu, selalu berpikir terlalu jauh.
"Bentar bentar, izinin gue napas dulu. Huh-huhhhh...." kata Upi lebay, lalu mengisi kekosongan paru-parunya.
Masih dengan tubuh telentang, samar-samar Upi melihat Akila tengah berdiri dengan postur berkacak pinggang. Cewek itu tersenyum simpul, bangga atas kegigihan Upi meski Upi sering mengeluh.
Kelopak mata Upi mengerjap beberapa kali. Cukup lama dia menatap tangan Akila yang terulur, sebelum akhirnya Upi menjabat tangan tersebut untuk membantunya berdiri.
"Gak papa. Ini masih pemula. Lo gak boleh memaksakan diri. Yang penting Lo jangan nyerah, boleh istirahat but gak boleh berhenti."
Upi tersenyum lebar sambil beranjak untuk berdiri. Keempat pelajar itu kembali memasuki rumah sekedar mengisi ion mereka yang hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja