Bahkan, kita dipaksa untuk menjalani kehidupan meski dipenuhi hujaman luka
🍩🍩🍩
Hari ini masih sama seperti hari kemarin, benar-benar tidak ada yang berbeda, menjadikan setiap waktu Upi semakin terasa bosan dan memuakkan.
Entah apa yang membuat para siswa SMA Garuda menatap lekat pada sosok gadis yang tengah melewati koridor sekolah dengan langkah gontai. Upi layaknya seorang model yang sibuk dipertontonkan hingga puluhan pasang mata tak berniat beralih untuk memperhatikannya. Entah itu wajah lelah Upi yang terlihat seperti zombie hingga membuat mereka tertarik, warna hitam yang melingkar di matanya atau bahkan berat badan Upi yang turun drastis?
Sangat kurus! Anak perempuan itu benar-benar terlihat sangat kurus sekarang. Bahkan nampak seperti tulang berjalan. Tidak bergizi. Lemak yang selama ini dia bawa kemana-mana pun memilih pergi.
Sesampainya di ruangan kelas, orang-orang tetap melakukan hal yang sama seperti para siswa yang berjejer di koridor sekolah tadi. Keadaan Upi yang mengenaskan dapat mengundang rasa penasaran mereka terlalu dalam.
Seperti biasa, tas punggungnya selalu ia jadikan sebagai pengganjal kepala untuk pengganti bantal. Upi mengacuhkan disekitarnya, tentang mereka yang tak mau berhenti menatap sambil berbisik-bisik bahwa keadaan Upi sangat mengenaskan.
"Lo nggak papa?" tanya seseorang dengan suara berbisik.
Upi tidak menoleh, dia bisa menebak jika siswa yang mengajaknya bicara adalah Ali. Satu-satunya orang yang tidak membenci Upi selain Radit di kelas ini.
"Emangnya gue kenapa?" Upi balik bertanya tanpa menatap Ali. Dia masih dalam posisinya, meletakkan kepala di atas tas punggung sambil memperhatikan jendela kaca yang sedikit berdebu.
Ali tidak melanjutkan, takut pertanyaannya akan membuat Upi merasa tersinggung. Lalu, ia memilih menjauh, memberikan Upi waktu untuk mengistirahatkan jiwa dan raganya yang lelah.
Dari arah pintu sosok Radit sedang berjalan sombong sembari melambaikan tangan pada beberapa siswi yang mendapat julukan sebagai penggemar. Dilihat dari auranya, cowok itu tampak bahagia hari ini dengan potongan rambut baru yang tidak lagi gondrong. Radit cukup menawan setelah dia memiliki rambut pendek yang ditata agak messy, terlihat seperti potongan rambut Xiao Zhan, seorang aktor kelahiran Tiongkok.
"Pagi, Buntal!" Sapa Radit sambil menampar permukaan meja, berharap Upi segera bangun akibat merasa terusik.
Helaan napas terdengar jelas, Radit mengambil duduk di samping Upi dengan kedua tangan berperan menyentuh dua sisi bahu Upi lalu membantunya duduk dengan tegap.
"Apa sih, Radit?"
Objek yang ditanya tersentak kaget, sungguh, keadaan Upi lebih dari sekedar mengenaskan. Bahkan lebih mengerikan dari zombie yang menggila akibat haus akan darah.
"Lo kenapa? Kehilangan semangat hidup?" tanya Radit antusias diselingi nada canda.
"Gue ngantuk, mau tidur lagi."
Upi menepiskan kedua tangan yang masih menyentuh bahunya. Tapi lagi-lagi Radit tidak memberikan Upi kesempatan untuk mengistirahatkan diri.
"Jangan gitu dong, Pi, kerjanya tidur mulu nggak bosan apa? Lagian, Lo nggak mau nanya keadaan gue sekarang?"
Menghela napas lelah, akhirnya Upi mau meladeni manusia seperti Radit. Lalu, ketika pandangannya mengarah ke pintu, sepasang alis Upi saling bertaut kala melihat Putri---siswi yang baru saja berjalan melewati kelas mereka, sedang tersenyum malu kepada Radit. Sontak Upi mengalihkan pandangannya kepada cowok disampingnya, dan benar saja, Radit seperti sedang kelilipan dengan mengedipkan matanya beberapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja