Seorang anak laki-laki berkulit pucat tengah terbaring lemah di atas kasur. Pergelangan tangannya belum sembuh, masih nyeri dan sakit sehingga tidak bisa digerakkan. Sepanjang malam dia merasa kedinginan, namun keringat terus mengalir tanpa henti. Dia meringkuk menahan sakit, mencengkram selimut sekuat tenaga.
Sesekali dia mengerang, sakitnya perut karena terjadi pembengkakan. Aga beralih duduk bersandar pada kepala kasur. Menekan dibagikan dada yang sakit, lalu netranya teralihkan pada jam yang menunjukkan pukul satu dini hari.
"Bunda...." Panggilnya dengan nada lemah sambil batuk kering beberapa kali.
"Bunda," panggilnya lagi berusaha mengeraskan suara. Semakin dia berbicara semakin gatal kerongkongannya hingga terpaksa ia batuk keras.
Cukup lama Aga memanggil hingga ia hampir prustasi, sosok wanita muncul dari pintu kamar, kamar yang memiliki interior maskulin. Suara gemerincing terdengar kala hiasan berbentuk bulan, planet Saturnus serta benda-benda luar angkasa lainnya terantuk yang disusun seperti tirai.
"Sayang? Kenapa? Di mana yang sakit, hah?" Ainun meletakkan tangan kanannya di dahi sang Putra, merasakan suhu dingin seperti es batu.
Bibir kering nan pucat bak mayat berusaha bergumam, "Perut Aga sakit, Bunda. Nyeri." Lagi, dia batuk bahkan sulit untuk berhenti.
"Bunda panggilkan Papa sebentar. Kamu tunggu dulu yah, nak."
Buru-buru Ainun keluar dari kamar dengan langkah setengah berlari. Dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan raut wajah kekhawatirannya kepada sang putra. Sebagai ibu yang tidak ingin anaknya kenapa-napa Ainun merasa cemas dan gelisah.
Meski segan untuk membangunkan suami yang tengah terlelap, bagaimanapun juga dia membutuhkan bantuan lelaki itu mengingat suaminya adalah seorang dokter.
"Papa, bangun, Pah. Aga sakit. Dia batuk-batuk terus."
Tidak sulit untuk membangunkan lelaki yang jika disentuh sedikit saja akan segera terjaga. Sebentar lelaki dengan gaya rambut cepak itu memahami kalimat Ainun barusan. Lalu, setelah kesadarannya telah pulih total, buru-buru ia dengan sang istri menuju kamar Aga.
"Kenapa, nak? Di mana yang sakit?" Tanya Pak Ahmad lembut. Berusaha membuat Aga tenang dengan tidak melontarkan pertanyaan terburu-buru seperti yang dilakukan Ainun sewaktu mendapati Aga tengah mengerang sakit.
"Perut Aga, Pah. Perut Aga sakit banget." Sambil merintih sakit, Aga terus menekan perutnya menggunakan kedua tangan dengan postur tubuh melingkar seperti udang.
Tanpa menunggu lama Ahmad berjalan terburu-buru menuju ruangan di mana dia menyimpan obat-obatan. Jujur dia sedikit bingung, karena pada dasarnya Ayah satu anak itu hanya seorang dokter gigi dan tidak memiliki pengetahuan luas tentang penyakit dalam terutama penyakit yang di idap anaknya sejak beberapa bulan yang lalu.
Setelah memilih beberapa obat yang menurutnya mempan untuk menghilangkan rasa sakit pada perut anaknya, Ahmad segera menuju kamar Aga. Meminta Ainun untuk membantu anak laki-laki yang merintih sakit itu untuk meminum obat.
Aga bernapas lega, tak menyangka jika obat yang diberikan Ayahnya bereaksi dengan cepat. Rasa nyeri pada perut telah hilang meski belum sepenuhnya. Setelah itu Ainun merentangkan kedua kaki di atas kasur untuk ia jadikan pengganti bantal buat sang anak.
Ahmad tersenyum hangat, namun di dalam hatinya ada rasa cemas dan khawatir yang tak mau pudar. Melihat keadaan Aga sudah benar-benar membaik, dia kembali ke kamar untuk membaca buku-buku yang membahas tentang cara penyembuhan penyakit terutama penyakit limfoma, salah satu jenis kanker mematikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja