Selama dua tahun belakangan ini, seakan ada sesuatu yang hilang. Entah itu kebahagiaan yang pergi, atau seseorang yang tak akan kembali lagi.
"Jadi, gimana kabar pacar kamu itu?"
Kedua tangan Upi berhenti membersihkan gelas kaca dan meletakkan kain lap di atas meja.
Mata anak perempuan itu memperhatikan Agung dan Kiki, pasangan suami istri yang sudah sah enam bulan yang lalu.
"Dia bukan pacar Upi, bang!"
"Nggak usah ngelak kamu, mana ada teman tiap malam telponan? Kamu pikir Abang gak tau, cowok kamu itu sering ngirim kamu hadiah kan? Enak ya punya pacar tinggal di Tokyo."
Semakin hari Agung semakin suka mencari tahu hubungan Upi dengan cowok yang 3 hari lagi akan kembali ke Indonesia. Sedangkan Kiki yang duduk disamping sang suami hanya tersenyum menimpali.
"Siapa namanya? Angga, yah?"
Upi geleng kepala. "Bang bang, namanya Kevin bukan Angga. Gak nyambung banget."
"Nah itu tuh, gimana kabarnya? Kapan dia bakal ngajak kamu nikah?"
Upi terdiam cukup lama, lalu menjelajahkan pandangannya pada pengunjung kafe yang mulai ramai.
"Lah, ditanya malah pergi," amuk Agung pada saudarinya.
Sedangkan Upi memilih berkutik dengan mesin beserta biji-biji kopi. Aroma, rasa, Upi bisa menikmatinya. Menjadi penghilang penat serta beban hanya dengan mulai bersahabat dengan kopi.
"Kafe kita ini luas, tiap hari pengunjung makin bertambah. Kamu yakin gak mau punya barista baru lagi? Abang cuma kasihan liat kamu bekerja sekeras ini, jangan terlalu lelah."
"Kan ada kak Kiki yang bisa bantu Upi."
Wajah bangga terpancar begitu saja, Upi teramat berterima kasih pada Agung yang merubah hidup mereka jauh lebih baik. Setidaknya, kafe inilah satu-satunya milik mereka yang sangat berharga.
Suami istri itu saling menatap lalu tersenyum puas.
"Idih drama cinta apa lagi ini? Dipikir masih anak SMA apa?"
"Kakak kamu nggak boleh kerja berlebihan dulu untuk saat ini."
"Kenapa?"
"Calon keponakanmu gak mau ibunya lelah."
Upi melototkan mata, meninggalkan begitu saja pekerjaannya membuat perasan kopi.
"Kak Kiki hamil?"
Orang yang ditanya mengangguk semangat.
Tanpa basa-basi Upi segera memeluk wanita itu dengan sayang.
"Eh meluknya jangan kencang-kencang Upi. Nanti dede bayinya penyet."
"Emang ayam apa?!" Ucap Upi jengkel, semakin mengeratkan pelukannya tanpa memikirkan Kiki yang merasa sesak.
Setidaknya, Tuhan mendatangkan orang baru untuk menghibur hidup Upi yang hampa.
•••
Hari ini sangat melelahkan, melayani pelanggan yang silih berganti hingga menjelang sore ternyata bisa menghabiskan tenaga Upi.
Angin menyapu lembut helai rambut anak gadis itu. Bahkan aroma senja membawa kerinduan hingga menusuk dada yang kian lama kian rapuh.
"Kevin! Kamu baik-baik aja kan di sana?"
Mata jernih nan indah menerawang pada langit yang membentang luas layaknya seperti birunya lautan. Semakin larut malam, bintang semakin memancarkan cahaya keindahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja