Pelajaran baru saja dimulai sekitar 10 menit yang lalu, namun, di bangku pojok paling belakang anak perempuan bertubuh gembul itu sudah mulai bosan.Dia memainkan pensil yang ada diantara lima jemari kanannya, hingga kemudian, perlahan Upi memasukkan ujung pensil tersebut ke dalam lubang hidungnya sedikit demi sedikit.
Plakkk ...
"Aww ...." Upi melirik tajam pelaku yang menampar bahunya dengan kasar.
Masalahnya, pensil yang Upi mainkan tadi itu pensilnya Radit, tentu saja Radit tidak terima pensil kesayangannya dijadikan benda pembersih hidungnya Upi.
Ngomong-ngomong Radit dan Upi dijadikan satu meja oleh Pak Aris gara-gara mereka selalu didapati asik bertengkar. Upi hendak mengajak Pak Aris bercanda seperti hari ketika ia bosan belajar, tapi masalahnya wajah Pak Aris hari ini terlihat sangat gelap seperti gelapnya masa depan Radit. Sepertinya Pak Aris sedang mempertahankan posisinya sebagai guru killer.
"Kotor banget sih Lo Buntal, masa pensil gue dijadiin pembersih upil Lo. Emang gak salah Tante Nur ngasih nama Lo Upi, Upi sama Upil, gak ada bedanya."
"Berisik Lo,"
"Upi ..."
Mendengar namanya dipanggil dengan lantang, Upi segera menoleh ke depan sambil menelan Saliva bersusah payah, yang mana di sana Pak Aris tengah menurunkan sedikit kaca matanya, lirikan mata mematikan membuat Upi merasa gugup.
"A-Ada apa ya, Pak? Saya sama Radit gak berantem lagi kok. Seriusan!" Upi mengangkat dua jari tinggi-tinggi.
"Maju ke depan selesaikan soal di papan tulis," titah lelaki pemilik kulit gelap itu.
"Tapi kan Pak, perasaan saya gak buat kesalahan deh."
"Maju Upil, guru sendiri gak boleh di lawan."
Upi melirik Radit kasar.
"Tadi buntal, sekarang upil, besok Lo manggil gue apa lagi? Kutil? Kunti? Atau bunting?"
Bukannya minta maaf Radit justru terkekeh geli, baginya cewek itu sangat lucu. Radit suka memancing amarah Upi hanya untuk menghibur dirinya sendiri.
Pada akhirnya Upi beranjak malas. Dia menerima spidol yang diserahkan Pak Aris lalu beralih menatap angka-angka mengerikan di papan tulis. Upi keringatan, hampir membasahi seluruh bagian seragam sekolahnya.
"Gini banget jadi anak sekolahan, tiap hari dapat hukuman."
Pak Aris berdehem, sekedar menyadarkan Upi bahwa masih ada guru di dalam kelas mereka.
"Saya tidak menghukum kamu Upi, justru karena saya peduli sama murid kayak kamu. Sekali-kali bisalah banggain orang tua kalau kamu bisa mengerjakan soal sesulit ini."
Mendengar penuturan Pak Aris, kembali Upi mengeluh, "jadi pengen cepat lulus biar bisa terbebas dari jeratan angka-angka mematikan."
"Ngapain kamu pengen cepat tamat sekolah, nambahin jumlah pengangguran Indonesia saja!"
Upi melirik sekilas, Pak Aris memang kalau ngomong suka benar. Buktinya Upi hanya cengir sambil menggaruk tengkuk belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia Berisik✅
Teen FictionKita hidup di mana harus memilih antara mendengarkan manusia berisik atau mengabaikan mereka. Start: February Ranking: #1 in Lucu #2 in Cinta #3 in Sad #3 in Fiksi Remaja