Happy reading
Suara-suara dorongan roda brankar mulai terdengar di seluruh penjuru rumah sakit. Athala telah dibawa oleh anak Arbani setelah ia tergeletak diatas aspal kurang lebih dalam sepuluh menit. Namun, kejadian ini masih menjadi misteri bagi Thalia yang melihatnya semua. Gadis itu pasrah. Tidak paham dengan keadaan yang tiba-tiba seperti ini.
Ia tahu bahwa Athala mempunyai musuh yang tidak sedikit membencinya karena suatu hal tertentu. Athala sangat terlihat sempurna dimata musuh-musuhnya. Maka dari itu, mereka semua membenci atau kata lain mereka semua tidak ingin Athala mendapatkan hal yang mereka tidak dapatkan. Perasaan iri dengki yang mereka tanamkan pada dalam diri sehingga membuat orang disekitarnya terluka.
Athala dibawa masuk ke dalam ruang operasi. Hal itu membuat anak Arbani khawatir takut terjadi sesuatu pada ketuanya. Thalia, gadis itu daritadi sampai sekarang meneteskan air matanya tak henti kala melihat lampu operasi yang telah menyala. Itu tandanya operasi pengangkatan peluru yang ditembakkan tadi sudah dimulai.
Ijal menghampiri Thalia kemudian ia duduk di samping gadis itu. "Thal, udah kali. Jangan nangis gitu. Ntar Athala ikut sedih ngeliat lo," ujar Ijal menenangkan.
"Iya Thal." Nail ikut menambah. "Harus senyum!"
Thalia mendongak perlahan. "Mungkin karena gue ya Jal? Karena gue dan handphone sialan ini gak bisa berbuat apa-apa." Thalia kembali menunduk dan mengusap-usap layar handphone nya dengan kasar.
"Gak lah!" Ijal menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bos gue emang udah diincar dari lama. Cuman ya gitu, baru kejadian sekarang."
Bagas menoleh kanan-kiri melihat keberadaan Ijal. Namun ternyata, sahabat nya itu sudah berdampingan dengan Thalia. Ijal memang sangat gercep.
"Woi Jal! Gue cariin ternyata disini," sahut Bagas ikut duduk di samping Ijal.
"Ngapain nyari? Kita kan gak ada hubungan apa-apa," jawab Ijal dengan angkuhnya.
Laki-laki yang berdampingan dengannya kini melotot seketika. "Maksud lo naon?!"
"Jadi, gue harus punya hubungan dulu baru bisa nyariin lo?" tanya Bagas.
Ijal mengangguk. "Gak harus sih... Tapi gak papa. Yuk ke Jerman," ujar Ijal yang diakhiri dengan kekehan kecil.
"NAJIS!" timpal Bagas.
"Diem lo. Ini rumah sakit, bukan tempat tes vokal," ucap Alan. Ia masih setia berdiri di depan pintu ruang operasi.
"Kalau bos udah sembuh, kita ke tempat karaoke," lanjut Reja.
"Gila lo semua," celetuk Bagas. "Btw Thal, lo liat plat mobil yang ngikutin lo sama Athala gak?" tanya Bagas pada Thalia. Gadis itu sedang menghapus air yang mengalir membasahi pipinya.
"Maaf, gue gak sempat liat Gas. Keadaan tadi udah gelap, apalagi mobilnya dibawah pohon."
"Yaudah gak papa. Mau gue beliin minum gak?" tanya Bagas sekali lagi.
"Gak usah," balas Thalia dengan sedikit senyuman.
Tidak lama setelah mereka berbincang-bincang dengan apa yang telah terjadi, suara gerakan kaki mulai terdengar. Makin lama, suara itu semakin terdengar jelas.
Semakin mendekat, sampai saat ini mereka semua melihat kedua orangtua dari Athala. Rivano dan Bunda datang dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Anak semata wayangnya tengah berjuang didalam ruang operasi, tentu mereka sangat khawatir.
Bunda tiba di depan pintu ruang operasi. Pandanganya kosong seakan masih tidak menyangka. "Kenapa dia bisa begini?" tanya Bunda lirih.
Rivano menepuk-nepuk pelan pundak Istrinya. "Jangan khawatir. Anak kita kan jagoan."
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHALA [END]
Teen Fiction[Follow sebelum membaca] "Jadi pacar gue mau?" tanya Athala. "Gak!" ucap gadis itu. "Yakin?" balas Athala. "IYA GUE YAKIN. GUE GAK AKAN SUKA SAMA LO!" putus gadis itu lalu melanjutkan jalan nya pergi. Meninggal kan cowok yang baru saja menembak nya...