𝐁𝐚𝐫𝐛𝐞𝐪𝐮𝐞

290 32 0
                                    

"Valen! Lo makan dagingnya banyak banget kita gak kebagian tau gak," Wulan menatap sinis Valen yang kini cengengesan, empat penggal daging ayam berada diatas piring suaminya itu.

"Masa sih? Perasaan gue baru makan empat," balas Valen membuat Wulan habis pikir.

"Udah Lan, kan kita masih mau bakar milu," sela Aileen membuat Valen mengangguk mantap dengan mulut penuh makanan, Wulan tidak menyerah, ia mengambil dua penggal ayam di piring suaminya kemudian berlari dengan kedua tangan menenteng daging ayam bakar.

Aileen tertawa terbahak menyaksikan adegan konyol didepannya, ia menghampiri Gavin yang tengah asik membakar milu.

"Hahaha!" Gavin heran, bukannya diam, tawa Aileen malah lebih menjadi. "Kamu kayak tentara lagi latihan militer Vin, haha," wajah Gavin dipenuhi arang. Aileen langsung membersihkan wajah Gavin menggunakan kain sweater yang ia kenakan saat pria itu kebingungan.

"Kamu gak cape? Gantian sini,"

"Gak, biar gue aja." tegas Gavin membuat pergerakan Aileen terhenti.

"Vin?" Gavin menoleh mendapati Aileen yang menatap langit malam dengan pandangan yang tak bisa diartikan. "Tengah malam aku suka haus, tiap mau ambil minum aku sering liat Bibi nangis dikamar," sudah lama Aileen ingin mengatakan ini, pintu kamar Katrin selalu tidak ditutup rapat.

"Hmm," Gavin menyerahkan satu tusuk milu bakar pada Aileen.

"Bibi kenapa?" tanya Aileen setelah mengambil milu itu, raut Gavin langsung berubah datar.

"Mending lo gak usah ikut campur," balas Gavin, Aileen sadar dia tidak seharusnya ikut campur.

"Kamu baik-baik aja, Vin?" Aileen hanya penasaran dengan keadaan Gavin.

Gavin berhenti melahap milu ditangannya, ia tidak tahu harus menjawab apa, itu pertanyaan yang selama ini tidak pernah ia dengar.

"Emang gue kenapa?" Gavin balik bertanya membuat Aileen diam, Gavin mengipas wajah, pria itu mematikan bara api didepan mereka.

"Kamu bisa nyembunyiin kesedihan dengan sifat keras itu, tapi mata kamu gak bisa bohong," Aileen menatap lekat Gavin yang kini mengalihkan pandangan.

"Jangan sungkan buat cerita apapun, tenang aja aku pendengar yang baik kok," Aileen mengusap kepala Gavin.

"Gue gak butuh siapapun." tukas Gavin menekan setiap kata, ia menepis tangan Aileen dari kepalanya. "Jangan sok peduli." setelah mengatakan itu, Gavin berlalu meninggalkan Aileen sendiri.

"Sok kuat," tutur Aileen namun dengan suara yang sangat kecil sambil menatap nanar pundak kekar Gavin yang mulai menjauh, "Bara api gak ngaruh, angin pantai kan dingin, kamunya aja yang nahan nangis," gumam Aileen memerhatikan Gavin yang sedari tadi berusaha menahan semuanya.

Drtt...

Mr. Killer

Nama itu terpampang dilayar ponselnya yang berdering. Aileen tersenyum lebar dan segera mengangkatnya.

"Selamat malam," suara berat Erlan langsung menyapa pendengaran Aileen.

"Malam juga, pak," balas Aileen malu-malu.

"Lagi apa?"

"Kita barbeque-an, bapak lagi apa?"

"Mikirin kamu," Aileen menggigit bibirnya kuat-kuat guna menahan teriakan. "Pake jaket, minum air hangat, jangan tidur larut." titah Erlan membuat napas Aileen memburu, apakah ini mimpi? Kalau benar, Aileen tidak ingin bangun.

"Iya siap. Liburan keluarga bapak gimana?" tanya Aileen, sempat hening beberapa detik.

"Lancar," balas Erlan membuat Aileen manggut-manggut.

"Baguslah, biar bapak bisa refreshing otak sekalian, ngajar mulu kasian," ejek Aileen membuat Erlan terkekeh diseberang telepon.

"Have fun Ay, saya tutup ya, selamat malam."

"You to, good night."

"Arghhhhh!" teriakan Aileen lolos begitu saja, dia seperti orang gila yang mengangkat milu tinggi-tinggi seperti baru menang olimpiade.

Dari kejauhan, Gavin memperhatikannya dalam diam.

Ma? Qinan sama kayak Mama. batin Gavin memejamkan matanya menikmati desiran ombak, angin pantai, dan langit malam penuh bintang.

*****

"Papi udah pesan tiket, kamu bisa kembali ke Paris besok lusa." tegas Healer, ia memilih menjemput langsung putrinya kembali ke rumah.

Jessie yang mendengar itu langsung berbalik badan menatap Healer, Papinya.

"Jess belum mau balik, Pi." ujarnya berusaha tenang walaupun detak jantungnya kini mulai berpacu cepat.

"Erlan sudah menolak perjodohan ini, kamu mau mengemis cinta dan merendahkan nama baik keluarga?" geram Healer membuat Jessie tertegun.

"Kembalilah ke Paris dan bersenang-senang disana, jangan hanya karena Erlan kamu merelakan kebahagiaan yang harusnya dinikmati." Healer sudah berusaha bertahun-tahun untuk sampai dititik ini, dia tidak sempat membuat mendiang istrinya hidup dengan baik, dia hanya ingin menebus kegagalan itu dengan membuat putri tunggal mereka hidup sebagai orang paling bahagia di dunia.

"Papi, Jessie gak ngemis cinta sama Erlan, aku juga gak bakal bikin nama baik kita rusak percuma," Jessie berusaha meyakinkan Healer, laki-laki terbaik dalam hidupnya.

"Kamu bahagia disini?" Healer akan melakukan apapun untuk putrinya, saat Jessie minta untuk tinggal diluar negeri, dengan cepat ia langsung mencarikan tempat terbaik. Saat Jessie mengatakan bahwa ia menyukai seorang pria, Healer langsung mencari cara untuk mempermudah kedekatan putrinya dengan orang itu, Erlan.

"Am i that bad?" Mendengar itu, Healer langsung pindah duduk disamping Jessie, mendekap sayang tubuh putrinya.

"No, you are perfect." ujar Healer.

"Jessie udah suka sama Erlan sejak SMP, waktu itu Papi sama Mami sering melakukan pertemuan bisnis dengan keluarga Martin," Jessie bercerita dalam dekapan hangat cinta pertamanya.

"Biar Jessie disini dulu ya, Pi? Sampai Erlan menemukan cintanya, aku cuma mau pastiin kalo perempuan itu bisa buat Erlan bahagia atau enggak," pinta Jessie, Healer mengangguk kemudian mengelus pucuk kepalanya.

"Besok kita ziarah ke makam Mami, mau?" tawar Healer yang disetujui Jessie, sudah lama mereka tidak berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir Natasya, istri dan ibu terbaik bagi keduanya.

Baik Healer maupun Jessie, keduanya saling menguatkan satu sama lain dalam menjalani hidup setelah kehilangan orang paling berharga, Healer menjadi pengusaha sukses berkat dukungan dan pengorbanan Natasya, namun wanita hebat itu harus berpulang saat tengah mengandung anak ke dua, ia mengalami keguguran yang ikut merenggut nyawanya.

Rumah besar dan mewah ini awalnya hanya rumah kontrakan kecil yang berhasil di jadikan layaknya istana oleh pasangan suami istri yang saling menopang dalam suka maupun duka.

Beberapa bulan lagi, Jessie akan menginjak usia dua puluh tahun, kini ia sudah ditahap akhir dalam menimbah ilmu disalah satu universitas yang ada di Prancis, S1 management.

Melihat kelihaian Jessie dalam menyikapi dunia, Healer merasa ia berhasil mendidik putrinya untuk hidup tangguh, ia yakin kelak Jessie akan siap menerima berbagai bentuk tantangan hidup.

"Anak Papi, cepat banget gedenya," Healer mengangkat tubuh Jessie untuk dipindahkan kedalam kamar, kebiasaan Jessie yang selalu tertidur diruang tengah memang tidak pernah hilang.

*****

SELASA, 080322.

GAVIN ALMERO [ COMPLETE ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang