Aileen menatap datar kertas digenggamnya, undangan pertunangan Erlando Martin dan Jessie Alinski.
"Ay pasti datang kok, pak." ucap Aileen pada pria yang duduk didepannya, sudah seminggu berlalu, Gavin dan Valen sibuk mencari supir truk yang menyambar Gavin.
"Kalau begitu saya permisi," ucap Erlan, tidak ada kehangatan seperti dulu.
"Bapak kenapa?" tanya Aileen, dia merasa buruk dengan pertanyaannya, memangnya apanya yang kenapa?
"Maaf jika selama ini sikap saya membuat kamu berharap lebih, lupakan saja dan anggap itu tidak pernah terjadi." setelah mengatakan itu, Erlan keluar dari restoran tempat mereka bertemu, Erlan menyerahkan undangan langsung untuk Aileen.
"Lupain? Bapak pikir segampang itu ngelupain semuanya?" Aileen terisak ditempat duduknya, ia mengasihani diri sendiri akibat terlalu berharap bahwa Erlan juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
Dari luar, Erlan menoleh kearah Aileen, ia mengusap kasar air matanya.
"Seandainya saya tau akhirnya akan seperti ini, saya akan memohon pada Tuhan agar tidak memberi tau siapa kamu sebenarnya, Aileen." gumam Erlan kemudian masuk kedalam mobil.
Aileen masuk kedalam apartemen yang sunyi, Wulan, Valen, dan Niken sudah kembali pulang, Gavin sedang berada di kantor, Aileen tadi sudah selesai dengan pekerjaannya jadi bisa keluar kantor tapi kini ia ingin sendiri, rasanya berat untuk kembali bekerja.
"Sakit banget!" tangis Aileen pecah, ia memukul-mukul dadanya yang terasa sesak.
"Aku salah apa?!" tangisnya sangat memilukan.
"Oh iya, aku salah udah berharap, aku salah udah suka sama kamu, aku salah–" napasnya tercegat, ia berusaha menghirup udara banyak-banyak. Aileen merobek kertas undangan sampai tidak berbentuk, menginjak-nginjak, kemudian merosot kelantai.
"Pa, Ma, kalian juga harus lupain pak Erlan, ya?" Aileen berbicara seorang diri. "Anggap aja waktu itu Ay sendiri ngunjungin rumah baru kalian," lanjutnya mengingat saat Erlan menemaninya ke makam.
Aileen berjalan dengan pandangan kosong menuju balkon kamar, perlahan ia memegang besi pembatas.
"Qinan! Jangan bodoh!" tubuh Aileen seperti melayang saat ditari secara paksa kembali masuk kedalam, ia terjatuh namun tidak membentur lantai, matanya memerjap beberapa kali kemudian tersadar.
"Gavin?" panggilnya dengan suara parau, ia berada diatas tubuh Gavin yang menghantam lantai.
"Lo ngapain bunuh diri cuma gara-gara laki-laki pengecut kayak dia?!" kelakar Gavin kembali berdiri.
"Bunuh diri, maksudnya?" tanya Aileen heran.
"Lo mau lompat!" Gavin menutup pintu kaca yang terhubung dengan balkon kamar.
"Aku mau ngirup udara, Vin. Dada aku sesak gak bisa napas!" ujar Aileen kembali membuka pintu balkon membiarkan Gavin melongo tidak percaya. "Lagian siapa juga yang mau bunuh diri, dosa tau." lanjut Aileen.
"Kamu udah lama sampe?" tanya Aileen saat Gavin berbalik, ia tidak mendapat jawaban.
Gavin yang baru masuk kedalam kamarnya langsung mengunci pintu dan melompat keatas kasur menenggelamkan wajahnya diatas bantal, ia terlalu shock saat tiba di apartemen dan mendapati Aileen sedang menangis histeris, saat melihat gadis itu menuju balkon, pikirannya langsung mengarah kesana.
"Sialan," ucapnya tidak jelas karena tertutup bantal. Saat akan berdiri, rasa pening dikepalanya kembali menyerang membuatnya kembali duduk, seharian dimuka layar komputer membuatnya sakit kepala.
*****
Pagi hari saat matahari menyapa, Gavin terbangun dari tidurnya, mendapati dirinya masih mengenakkan jas yang ia pakai kemarin, ia kembali mengingat apa yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAVIN ALMERO [ COMPLETE ]
Romance"SINGKAT YANG SAKIT" SELAMAT MEMBACA. ⚠️DON'T COPY MY STORY!⚠️ Gavin Almero, putra tunggal pasangan suami istri yang sama sekali tidak ada kejelasan. Diusianya yang masih terbilang muda, dia harus menangani perusahaan keluarga yang dirintis dari baw...