Jessie tersenyum hambar di balkon kamarnya, perbincangan antara dirinya dan Healer membuatnya bingung harus bahagia atau bersedih.
Perusahaan om Jevano sudah mentransfer semua dana investasi yang sempat ludes beberapa bulan lalu, sekarang kita sudah tidak terikat kontrak apa-apa lagi.
"Segitunya usaha kamu sampe bisa tangani semua masalah perusahaan dalam seminggu, Lan." Air matanya mengalir, giginya saling bertautan, menahan semuanya seorang diri.
"Mobil kamu mau aku simpan aja," ucapnya, beberapa hari lalu Erlan menjual beberapa mobil pribadinya, Jessie kemudian membeli mobil itu ditempat Erlan menjualnya.
"Jaminan apa yang kamu janjikan pada sekelompok rentenir itu Erlan?" Jessie memejamkan matanya Erat dengan tangisan tertahan, ia menyewa beberapa orang untuk mengawasi Erlan beberapa hari ini, laporan terakhir adalah Erlan yang meminjam sejumlah uang kepada para rentenir.
Ponsel ditangan Jessie berdering, ia segera menerima panggilan itu.
"Katakan,"
"Selamat pagi, saya sudah menyelesaikan tugas dari kamu, nomor rekening sudah saya kirim, cepat transfer uangnya." ucap seseorang.
"Bagaimana keadaannya?"
"Lumayan parah, sekarang sedang dirawat dirumah sakit permata, penyebabnya adalah kecelakaan lalulintas bukan terencana," jawab orang diseberang telepon. "Lima puluh juta, sesuai kesepakatan." lanjutnya.
"Sudah saya transfer, kontrak kita selesai."
Jessie memutuskan sambungan lebih dulu.
"Aku sudah singkirin pengganggu hubungan kamu sama perempuan itu, kamu juga sepertinya mau cepat-cepat bebas dari perjodohan ini, sekarang tugas aku sudah selesai disini." Jessie kemudian menutup gorden, menarik koper keluar dari kamarnya, ia mengubah ekspresinya seolah tidak terjadi apa-apa saat melihat Healer sudah menunggu didalam mobil, supir membantunya memasukan koper kedalam bagasi.
"Jangan banyak pikiran disana, makan sama tidur teratur, okay?" Jessie mengangguk menimpali ucapan Healer, ia masuk kedalam dekapan hangat pria yang sudah tidak muda lagi itu.
Mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah, ia kembali mengasingkan diri ke tempat yang jauh, lukanya memang tidak pernah berhasil pulih.
Belaian penuh kasih dari Healer membuat perjalanan mereka tidak terasa lama, mereka tiba di bandara setelah menempuh perjalanan kurang dari tiga puluh menit.
"Jessie?" Jessie menoleh kearah Healer saat ia akan bergegas masuk kedalam area bandara. "Papi anter sampe sini aja, ya?" Jessie mengerutkan keningnya heran, biasanya Healer akan mengantarnya bahkan sampai pesawatnya take off.
"Ya udah, Papi juga makan banyak sama tidur teratur, Jessie bahagia kok." ucapnya, sebelah tangannya terkepal erat menahan isakan yang meronta ingin keluar, Healer tersenyum melepas kembali Putri semata wayangnya.
Pengumuman berkumandang, Jessie melambai-lambaikan tangannya sambil berjalan masuk, begitu juga Healer yang tetap setia tersenyum hangat, tiba dibalik pintu, Jessie terisak sejadi-jadinya.
"PAPI!" Jessie kembali keluar, berteriak sekencang mungkin berharap dia belum terlambat, ia berlari kencang seolah sedang mengejar waktu. Healer yang baru saja akan kembali masuk kedalam mobil, membalik badannya perlahan, menampakkan wajahnya yang kini tengah dipenuhi deraian air mata, tidak mudah baginya melewati semua.
Jessie langsung memeluk erat tubuh Healer, keduanya bersatu dalam tangis haru.
"Jessie disini aja, bareng Papi. Aku gak mau ninggalin Papi lagi," dengan tangisan hebat Jessie merasa sangat egois selama ini, memilih menyembuhkan lukanya sendiri dan membiarkan Healer tersiksa seorang diri.
"Loh kenapa? Go away, pesawat kamu sudah mau terbang," suruh Healer menatap putrinya, Jessie menggeleng kuat.
"Papi selalu utamain kebahagiaan Jessie sejak kecil, sedangkan Papi hidup tersiksa selama ini!"
"Maafin Jessie Pi."
*****
Aileen menatap nanar Gavin yang memejamkan mata diatas brankar rumah sakit. Tubuh yang sebelumnya dipenuhi darah kini telah dibalut baju khusus untuk pasien.
"Jahat banget gak mau bangun," ucapnya, dari semalam dia terus terjaga menunggu pria itu bangun.
Kerusakan mobil Gavin lumayan parah, kronologi kejadian juga belum diketahui pasti karena kecelakaan terjadi ditempat yang lumayan sunyi, tidak ada CCTV yang menyorot saat itu terjadi.
Derap langkah yang perlahan memasuki ruang VIP ini membuat Aileen mau tidak mau menoleh kearah pintu.
Disisi lain dia bahagia, disisi lain dia juga takut.
"Selamat pagi Paman, Bibi." sapa Aileen menyambut kedatangan Osvaldo dan Katrin.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Osvaldo, Katrin berdiri disamping Aileen, merangkul pundak keponakannya itu.
"Kata Dokter kakinya kejepit dashboard mobil yang hancur, untuk sementara mungkin Gavin akan kesulitan berjalan," jelas Aileen.
"Kalian berdua, tidur di apartemen?" tanya Osvaldo, pria itu mengusap dahi Gavin yang berkeringat, Aileen mengangguk dengan ragu-ragu.
"Pulang dari sini saya akan keluar kota, kalau Gavin sudah dipulangkan, pulanglah kerumah ikut Bibi kamu, sampai Gavin betul-betul pulih." titah Osvaldo, sifatnya berbanding sangat jauh dengan yang Aileen lihat beberapa hari lalu.
"Mama," Aileen, Osvaldo, juga Katrin langsung mendekati brankar saat Gavin mulai sadar. "Mama," Osvaldo mengalihkan pandangan membuat Katrin menatapnya.
"Vin?" Aileen mencoba untuk membangunkan Gavin.
"Ma, bawa Gavin." gigauan Gavin berhasil membuat mereka yang ada disitu tertegun mendengarnya.
"Bangun sayang," Katrin mengusap puncuk kepala putranya, Aileen dapat merasakan sesakit apa Katrin saat ini.
Perlahan mata Gavin mulai terbuka, ia menatap kosong ke langit-langit ruangan.
"Mi," Katrin tersenyum sembari mengangguk merespon hal itu.
Aileen mencari-cari cela untuk melihat wajah Gavin, tubuh Katrin yang membelakanginya terlalu tinggi.
Netra Gavin bertemu pandang dengan Osvaldo yang berdiri tegak disamping brankar, menatapnya tanpa ekspresi.
"Qinan mana?" tanya Gavin dengan mata tetap memaku pada Papinya.
"Aileen," Aileen bertukar posisi dengan Katrin.
"Gue gak papa," ucap Gavin saat melihat genangan air di pelupuk mata Aileen.
Pintu terbuka lebar, menampakkan Valen yang menatap Gavin dengan raut khawatir, ia langsung menghampiri sahabatnya itu.
"Vin? Lo masih hidup, kan?" jika saja ia boleh menggerakkan kakinya, sudah lama tendangan savage malayang dikepala Valen.
"Valen!" tegur Aileen, pria itu sadar setelah beberapa saat.
"Eh, selamat pagi Om, Tante," sapanya, Katrin mengangguk sebagai respon, Osvaldo sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari arah putranya.
"Gimana ceritanya lo bisa cium setir?" Valen menyerahkan sekantong plastik pada Aileen, beberapa biskuit dan susu. "Wulan gak bisa ikut, Niken belum bisa kemana-mana," jelasnya pada Aileen tanpa ditanya.
Gavin mengatup mulut rapat-rapat, kejadian itu cukup tidak masuk akal baginya.
Valen paham, hubungan Gavin dan Osvaldo tidak terlalu baik dari jaman dulu kala.
"Saya pergi dulu," pamit Osvaldo langsung melangkah.
Klik.
Pintu kembali terbuka, kali ini menampakkan seorang pria yang datang dengan pakaian formal.
"Bi, ini pak Erlan yang waktu itu ketemu Bibi di kampus."
"Paman, ini dosen Ay, pak Erlan Martin." Aileen memperkenalkan Erlan, tatapan Osvaldo, Erlan, dan Katrin bertemu. Erlan menatap Aileen dan Gavin secara bergantian dalam waktu yang lumayan lama.
"Selamat pagi."
*****
MINGGU, 130322.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAVIN ALMERO [ COMPLETE ]
Romance"SINGKAT YANG SAKIT" SELAMAT MEMBACA. ⚠️DON'T COPY MY STORY!⚠️ Gavin Almero, putra tunggal pasangan suami istri yang sama sekali tidak ada kejelasan. Diusianya yang masih terbilang muda, dia harus menangani perusahaan keluarga yang dirintis dari baw...