𝐏𝐚𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐋𝐚𝐧𝐥𝐚𝐧

285 29 0
                                    

Osvaldo duduk di ruang tengah rumahnya, menatap setiap sudut bangunan. Dulu rumah ini dipenuhi kehangatan, namun hal itu hilang dalam sekejap mata.

"Mas," Katrin datang membawa dua gelas teh panas.

"Benar kata Gavin, kamu bisa menceraikan saya sekarang, dia sudah dewasa, tugas kamu sudah selesai menjaganya." ucap Osvaldo.

"Mas, gak ada sedikit pun rasa untuk aku dihati kamu?" Katrin bertanya dengan tenang.

"Kamu tau jawabannya, sampai kapan pun tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi Andrella." jawab Osvaldo tegas.

"Terus kenapa kamu memintaku menikahimu?" Katrin terkekeh dengan pertanyaannya.

"Katrin, kamu wanita berhati lembut, baik kayak Andrella, saya menikahimu karena percaya kamu akan berhasil menjaga dan mendidik anak saya." balas Osvaldo.

"Apa aku berhasil?" tanya Katrin menatap pria disampingnya, suaminya.

"Kamu berhasil." Katrin tersenyum mendengarnya. "Katrin, saya pergi bermain wanita saat mengetahui Andrella di vonis tidak akan bertahan lama meskipun melakukan berbagai pengobatan, kamu tau? Saya kecewa dengan takdir dan Tuhan, kenapa sekejam ini kepada wanita sebaik dia."

"Aku akan menggugat cerai kamu bulan depan, setidaknya izinkan aku ikut merayakan ulang tahun Gavin, putraku." Pergerakan Osvaldo terhenti saat akan meneguk teh, ia menatap Katrin yang kini berlinang air mata.

~~~~~

Gavin berdiri didepan meja meeteng, mereka negosiasi dengan relasi perusahan.

"Saya tidak keberatan jika project ini batal, tapi anda akan mengalami kerugian besar disini," Gavin berbicara dengan santai.

"Kerugian saya akan lebih besar jika bekerja sama dengan perusahaan ini!" balas seorang pria dengan sentakan.

"Minta maaf." pergerakan pria itu yang baru saja akan keluar terhenti, ia berbalik dengan mengangkat setengah alisnya menatap Valen.

"Minta maaf? Padanya? Cih!" kesombongan pria didepan mereka ini memang pantas untuk diberi jempol.

"TARIK SEMUA DANA INFESTASI NIKENZI HOTEL DARI PERUSAHAAN MABEL GROUP, SAYA TIDAK INGIN MENGALAMI KERUGIAN SATU PERAK PUN KARENA BEKERJA SAMA DENGAN MEREKA!" Valen berucap dengan suara yang meninggi dari telepon, sekretarisnya dengan cepat melaksanakan apa yang ia perintahkan.

"Va-Valentino?"

"Kenapa? Selama ini saya selalu mengutus sekertaris saya untuk menghadiri meeting persetujuan kerja sama dengan perusahaan tidak bermutu milikmu, kaget?" Valen menyerang lawan dengan telak.

"Pintu keluar ada disana." kata Gavin duduk diatas meja memunggungi pria itu. Mereka adalah tuan rumah, sangat ramah jika diperlakukan dengan baik dan akan sangat kasar jika client-nya seperti yang baru saja berlalu tadi.

Ponsel Valen bergetar, dia langsung menerima panggilan yang masuk, "Halo, ada apa baby?"

~~~~~

Ini sudah genap tiga hari Aileen dirawat dan hari ini dia sudah diizinkan untuk pulang.

"Akhirnya, aduh udah makin berat aja kamu," Aileen memangku tubuh Niken, punggung tangannya diperban karena sedikit bengkak.

"Mama,"

"Mama kamu disini, Ken." Aileen terkekeh melihat Wulan kesal karena Ken selalu memanggilnya Mama sedangkan memanggil Wulan dengan sebutan "Lanlan" membuatnya juga heran.

"Lanlan," tawa lepas Aileen menggemah, Wulan hanya mampu menggeleng.

"Anak sama bapak sama aja," tukas Wulan.

"Niken, kamu mau?" Niken segera meraih gelang ditangan Aileen.

"Bilang apa?" seru Wulan dari sofa.

"Makasih Mama," wajah Wulan berkerut saat melihat Niken memeluk erat Aileen.

"Emang gen durhaka, sama kayak Papanya." tukas Wulan sekali lagi.

"TADA!" Wulan yang duduk disofa terkesiap, Aileen tercekik saat Niken tiba-tiba bergantung dilehernya. "Papa datang-Aw!" Valen memekik saat sendal melayang dikepalanya.

"Waalaikumsalam suami," Valen yang akan mengoceh langsung kikuk dengan sindiran Wulan yang kini bersedekap dada menatapnya dengan senyum lebar, senyum itu terlihat menakutkan jika disaat seperti ini.

"By, astaga, kamu cantik banget." Gavin mendorong tubuh sahabat sintingnya yang menghalangi pintu, drama suami istri PRIK akan segera berlangsung.

"Udah beres semua?" Aileen mengangguk menunjuk semua tas diatas meja, Gavin segera mengambil alih tubuh Niken.

"Pae!" Valen menatap tajam Niken yang memanggilnya.

"Papi!" Niken mencium kedua pipi Gavin.

"By, gak usah di panti asuhan, kasih aja dia sama mereka, nyesel gue keluarin dia." wajah Wulan memerah mendengan ocehan Valen yang terlalu-errrr.

"Kita ke rumah, Mami minta kamu kesana selama masa pemulihan." Aileen segera menatap Gavin yang mengucapkan itu.

"Kamu ikut?" melihat Gavin mengangguk, entah mengapa hati Aileen ikut tenang.

"Ayo," Gavin membantu Aileen turun dari atas brankar.

Mereka berjalan keluar, tangan kanan Valen menenteng tas berisi baju-baju Aileen sedang tangan kirinya merangkul Wulan. Gavin menggendong Niken yang terus mengoceh, tangan kanannya menggenggam jemari mungil Aileen, terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia.

"Heh, anak pungut? Mau dimana lo, Disini apa disana?" Niken menunjuk mobil Gavin membuat Valen menampakkan wajah konyol.

"Sama Pae, ya? Papi pulang dulu, kapan-kapan kita ketemu lagi," Niken mengerucutkan bibirnya, merentangkan tangan menunggu Valen mendekapnya.

"Jalan kaki!" tukas Valen membuat Niken turun, berjalan dengan langkah mungil menghampiri Wulan yang sudah duduk didalam mobil.

"Lanlan," Niken masuk dalam dekapan jangan Wulan.

"Ululu kasihan, udah ah jangan nangis," Wulan mengelus sayang kepala putranya yang menampakkan wajah ancang-ancang untuk menangis.

"Pae, pae," tangis Niken pecah, menangis kencang seperti orang patah hati menunjuk-nunjuk Valen yang menyetir.

"Valen," mendengar teguran Wulan, Valen menepi, mengambil alih tubuh Niken ke pangkuannya.

"Ayo kita pulang, Ken yang nyetir," tangis Niken perlahan mengecil, tangan mungilnya berada di setir mobil, tangan kanan Valen sibuk menyetir sedang tangan kirinya mendekap dada Niken agar tidak membentur setir.

Wulan tidak dapat memungkiri apa yang dirasakannya, dia bahagia menikah dengan Valen walaupun pria itu terkadang membuatnya berpikir kesal.

Valen tidak menerima uang dari Papanya secara cuma-cuma, dia menangani perusahan. Sebagai suami, ayah, anak, dan menantu yang bertanggung jawab.

Dia juga meminta Wulan untuk tidak terlalu sering mengeluh kepada orang tua, jika ada yang tidak berkenan dihati, dia meminta untuk berbicara baik-baik empat mata, menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin.

Usia Valen yang sudah dua tahun lebih tua dari Wulan yang masih berusia sembilan belas tahun, membuat pria itu harus ekstra sabar dan hati-hati menghadapi pola pikir Wulan yang kadang tidak jelas.

"By, tadi ada klien setengah gila, gue sama Gavin hampir ikutan gila," ucap Valen, dia memang selalu menceritakan apapun kepada Wulan.

"Bukannya lo emang udah gila dari dulu?" timpal Wulan tertawa membuat Valen mencubit pipinya gemas.

"Oh satu lagi, tadi pak Healer nelpon Gavin, katanya dia akan menuntut Jessie, anaknya, dan tidak akan menerima sepeser pun uang dari Gavin."

~~~~~

GAVIN ALMERO [ COMPLETE ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang