22. Dia Berbeda

273 195 43
                                    

Jangan lupa tekan bintang di pojok bawah kiri yaww!
Baik sebelum ataupun sesudah baca.

Happy Reading!

Typo bertebaran!

***

Kini Adeeva tampak terlihat termenung di atas kasurnya. Mengapa laki-laki itu harus kembali lagi? Setelah sekian lama menghilang, dan sekarang cowok itu kembali dengan sikap yang berbeda dari yang ia kenal selama ini.

"Kenapa?" Tanyanya pada dirinya sendiri.

Kemudian gadis itu mengambil sebuah bingkai foto yang berisikan tiga orang anak manusia yang tampak tersenyum pada kamera. Dua di antaranya adalah bocah dengan jenis kelamin perempuan.

Mereka tampak tersenyum lebar dengan seragam merah putih yang melekat pada tubuhnya. Sedangkan satunya adalah anak laki-laki dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Jangan lupakan pula seragam putih biru yang anak laki-laki itu gunakan.

"Kenapa sekarang kamu beda?" ujar Deeva. Ia seakan bertemu dengan sosok yang tak pernah ia kenali sebelumnya.

"Apa salah aku, Nio?" Tak serasa kelopak mata gadis itu basah akan air mata yang entah kapan menetes.

"Sayang?" Tiba-tiba Valerie masuk ke kamar anak gadisnya dan menemukan anaknya itu tengah meneteskan air mata.

"Hei? Are you okay? Mamah ketuk-ketuk pintunya tapi kamu ngga nyaut-nyaut. Akhirnya Mamah masuk, takut kamu kenapa-kenapa," ujar sang mamah seraya mengusap surai kecoklatan Adeeva dengan sayang.

"I'm fine, Mom," ujar Adeeva berusaha menutupi apa yang sedang ia rasakan.

"Mamah tau kamu bohong. Mamah ngga akan paksa kamu buat cerita sama Mamah. Mamah akan tunggu sampai kamu mau cerita dengan sendirinya ke Mamah. Inget yah Sayang, kamu masih punya Mamah buat tempat berbagi." Valerie tampak sangat memahami dengan sikap Adeeva.

"Thank you, Mom," balas Adeeva.

Valerie tampak tersenyum menenangkan kemudian wanita yang tampak anggun itu menarik anak gadisnya masuk ke dalam pelukannya yang terasa begitu nyaman.

"Di bawah ada om Andreas sama tante Sita, kamu turun yah?" Ujar Valerie mengungkapkan tujuannya ke kamar Adeeva. Adeeva tampak mengangguk, kemudian ia keluar dari dekapan hangat sang mamah.

"Aduh, anak gadis kok di kamar terus sih." Ucapan itu menyambut kedatangan Adeeva dan Valerie yang baru saja sampai di ruang tamu.

"Deeva itu emang jarang keluar rumah, kerjaannya di rumah itu belajar terus," ujar Valerie menyahuti ucapan yang dilontarkan oleh tante Sita.

Adeeva tampak mendekat ke arah pasangan suami istri itu, kemudian ia menyalami tangan mereka secara bergantian.

"Oh iya, ngomong-ngomong, Nio kok ngga keliatan?" Tanya Valerie yang tampak tak melihat kehadiran putra tunggal temannya itu.

Tadi, saat Valerie tengah menyiram tanaman di depan rumahnya, tiba-tiba ia dikagetkan dengan kehadiran pasangan suami istri yang menjadi tetangga barunya itu.

"Biasalah, kemana lagi kalo bukan ngelayab. Anak itu emang kayaknya ngga betah di rumah. Kemaren aja pas pindahan bukannya bantu beres-beres, dia malah minggat ngga tau kemana," ujar Andreas dengan nada yang terdengar menyimpan kekesalan pada putranya itu. "Oh iya, Eva udah sempet ketemu sama Nio belum?" sambung Andreas.

"Sudah, Om. Kemarin Deeva sempat bertemu dengan Nio di depan rumah," balas Adeeva.

"Oh yang waktu kamu mau ngasih kue yah? Trus kalian sempet ngobrol ngga? Kalian kan udah lama ngga ketemu," tanya tante Sita.

"Tidak, sepertinya dia terlihat sedang buru-buru, Tan. Jadi kita tidak sempat mengobrol," balas Adeeva saat mengingat kejadian beberapa hari lalu.

"Anak itu emang suka banget keluyuran ngga jelas," ujar tante Sita sembari berdecak pelan. "Oh iya, Max kemana, Val? Kok ngga keliatan?" sambungnya.

"Jam segini mah masih jam kantor, Mah. Mamah aja yang buru-buru pengin ke sini. Papah kan bilang, pas libur aja ke sininya. Biar sekalian ketemu Max juga." Bukan Valeri yang menjawab, melainkan Andreas.

"Udah keburu kangen sama Valerie soalnya. Kita kan udah lama banget ngga ketemu. Ya kan, Val?" ujar tante Sita.

"Iya, udah lama banget. Semenjak kalian pindah kita jadi lost contact gitu," timpal mamah Adeeva.

"Sorry yah, Val. Kita ngga kabar-kabar dulu waktu mau pindah. Soalnya pas itu juga semuanya serba mendadak." Tante Sita tampak tak enak hati saat mengingat kejadian beberapa tahun lalu.

Tiba-tiba Andreas terlihat bangkit dari duduknya, dan berujar, "Mah, Papah kayaknya ada urusan. Papah tinggal ngga apa-apa, kan?"

"Yaudah ngga apa-apa. Papah ati-ati, yah," balas tante Sita.

"Val, duluan yah," pamit om Andreas pada tuan rumah yang langsung diangguki olehnya.

Sepeninggal om Andreas, dua ibu-ibu itu tampak tenggelam dalam obrolan yang mereka ciptakan. Sesekali juga Adeeva ikut bergabung dalam obrolan itu.

***

Saat Dirga menginjakkan kakinya di rumahnya, ia disambut dengan suara tangisan adik kecilnya.

"Bun, Caca nangis kenapa? Kok cuma pake kaos dalam gitu," ujarnya saat ia melihat adik kecilnya sedang berusaha ditenangkan oleh sang ibunda.

"Ini Bang, adekmu nangis gara-gara baju gambar tayo yang dia mau belum dicuci," balas sang ibunda yang terlihat tengah menggendong anak bungsunya yang tengah menangis itu.

"Bukannya Caca punya banyak baju yang gambarnya kaya gitu lagi?" Pasalnya, ia tahu kalau adiknya itu mempunyai banyak baju lainnya dengan gambar yang sama.

"Adekmu ngga mau. Maunya pake baju yang belum dicuci." Sania tampak kewalahan saat menghadapi Caca yang tak mau berhenti menangis.

"Huwaaaa, Abanggg!" Ujar gadis kecil itu saat menyadari kehadiran abangnya.

Kemudian gadis itu terlihat mengulurkan kedua tangannya seakan minta digendong oleh kakak laki-lakinya yang baru pulang itu.

"Mau sama Abang? Utu-utuuu ... adeknya bang Dirga ngga boleh nangis. Nanti kalo nangis diculik sama nenek sihir lho," ujar cowok itu menakut-nakuti adiknya yang sudah berada di gendongannya. Bukannya berhenti menangis, adiknya itu malah semakin mengeraskan tangisannya.

"Lho? Kok nangisnya malah tambah kenceng?" Ujar Dirga tampak kewalahan.

"C-caca ... hikss ... ngga mau ... hiks ... diculik nenek sihil ...." Gadis kecil itu berbicara di sela-sela tangisnya.

"Cup ... cup ... cup ....." Dirga tampak menimang-nimang adiknya itu, mencoba menenangkan.

"Kalo ngga mau diculik, Caca ngga boleh nangis. Harus berhenti nangisnya."

"Gitu, Abang?" Tanya bocah kecil itu seraya mengerjakan mata bulatnya yang tampak basah akan air mata.

"Iya, gitu. Jadi Caca harus diem. Jangan nangis lagi, paham?" Ujar Dirga dengan sabar.

"Paham, Abang." Dengan ajaib, tangisan yang sedari-tadi memekakkan telinga, seketika berhenti dengan tiba-tiba. Hanya tersisa sesenggukan kecil dari bibir mungil Caca.

Sania tampak tersenyum tipis saat melihat sang putra sulung mampu menenangkan adiknya.

"Bang, bawa ke kamar aja. Sana pakein baju, takut nanti Caca masuk angin gara-gara kelamaan ngga pake baju. Tapi awas lho, jangan didandanin aneh-aneh lagi!" peringat Sania.

"Iyaa, Bunda," ujar Dirga dengan patuh. Setelahnya cowok dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya itu beranjak menuju ke kamar adik kecilnya guna mendadaninya.

***

To Be Continue ....

06/03/2022

Jenius Girl (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang