Bab 3 | Depresi

70 10 8
                                    

Kenapa takdir memberikan kejutan mendadak seperti ini? Jika kejutan kebahagiaan tidaklah masalah, tapi jika kejutan itu adalah sebuah musibah. Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang tidak berdaya sepertiku?

-Menyapa Rindu-

"Anak-anak, maafkan saya karena di jam terakhir, saya tidak bisa menemani kalian." Terlihat semua orang tersenyum senang mendengar pernyataan dari guru yang paling mereka wanti-wanti.

"Hari ini saya akan menjelaskan tentang Sifat Koligatif Elektrolit dan Nonelektrolit, kalo ada kesempatan waktu, Minggu depan kita akan ke lab." Kaki Melvin yang kokoh mulai melangkah mengitari bangku-bangku anak didiknya. Ia bukan tipe guru yang sering menyuruh mengerjakan tugas sementara dirinya duduk manis membiarkan anak dirik membaca buku paket.

Belum sempat guru kimia itu melangkah lebih jauh, ia sudah menemukan salah satu muridnya yang duduk di bangku nomer dua dari belakang sedang tertidur pulas. Bahkan teman perempuannya yang berada satu bangku mencoba membangunkan, tapi malah mendapatkan penolakan.

"Rindu." Gadis berambut pendek yang merasa namanya di sebut langsung mengangkat tangannya tanpa mau merubah posisinya yang masih meletakkan kepala diatas meja.

"Rindu." Semua orang menatap penuh cemas dengan apa yang dilakukan Rindu, menurut mereka tidur di jam pembelajaran Pak Melvin adalah sesuatu yang salah. Secara tidak langsung, Rindu telah menantang malaikat maut untuk segera mengambil otak bodohnya yang tidak kunjung sembuh.

"Hadir Pak!" Meskipun terlihat lucu, orang-orang yang berada di dalam kelas hanya bisa menahan senyum. Mereka terlalu takut akan guru kimia yang mungkin saja menghukum mereka hanya karena tertawa ketika pembelajaran berlangsung.

Putri segera mengambil botol minumnya ketika Melvin menyuruhnya dengan bahasa isyarat. Dengan perasaan campur aduk, gadis itu menyerahkan botol minumnya kepada guru kimia-nya.

"Put! Gak usah bikin rusuh deh!" Rindu yang merasakan wajahnya basah akan air yang entah dari mana, merasa jengkel. Ia tidak suka tidur siangnya di ganggu.

"Gue bilang gak usah rusuh! Nanti kalo Pak Melvin tau gimana?" Rindu terpaku ketika matanya tidak menemukan Putri yang tersenyum menjahili dirinya, ia malah bertemu sosok pria tinggi sedang menatapnya dengan wajah horor seperti film hantu yang sering ia tonton. Mungkin lebih menyeramkan wajah pria di depannya.

"Hay Pak Melvin!" Rindu mengedipkan mata sembari mengusap wajahnya yang basah.

"Kamu berani tidur di jam pembelajaran saya?" Melvin meletakkan botol minum di atas meja setelah ia menutupnya kembali.

"Ya tentu gak berani Pak, Bapak kan killer." Rindu memelankan kalimat terakhirnya membuat Melvin menyipitkan mata.

"Apa yang kamu bilang? Saya killer?" Rindu ingin sekali menendang tubuh gurunya, bagaimana bisa Melvin tau apa yang ia katakan. Padahal suaranya sudah begitu pelan.

"Gak gitu Pak! Siapa juga yang bilang, kalo Bapak killer! Tadi, saya bilang, kalo Bapak itu adalah guru yang paling di siplin sekaligus baik!" Semua yang dikatakan Rindu berbanding terbalik dengan apa yang hatinya rasakan kepada guru menyebalkan. Mungkin jika Rindu pemilik sekolah ini, ia pasti tidak akan pernah membiarkan orang seperti Melvin mengajar. Bisa gila nanti anak didiknya jika setiap hari menghadapi orang seperti Melvin.

"Bukannya tadi, Rindu bilang kalo Pak Melvin itu membosankan ya?" Semua orang membulatkan mata tak terkecuali Rindu yang rasanya ingin tengelam di tengah lautan mendengar pernyataan Putri.

"Rindu juga bilang, kalo wajah Pak Melvin itu kaku kayak orang habis putus cinta dan kalo gak salah, Rindu juga bilang kalo wajah Pak Melvin itu..." Putri meringis kesakitan ketika Rindu mencubit lengannya, membuat ia menghentikan penjelasannya.

Menyapa Rindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang